SURVEY KARBON

PROJECT II FOREST INVESTMENT PROGRAM

KPH LIMAU UNIT VII-HULU PROVINSI JAMBI

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Isu perubahan iklim dan implementasi REDD+ merupakan isu yang kompleks dan berkembang sangat cepat dari waktu ke waktu. Disamping itu, kedua isu tersebut juga berkaitan erat dengan science dan aspek teknis/ metodologis, sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan Pemahaman dan pengetahuan serta meningkatkan kapasitas para pihak di daerah agar selalu up-to-date dengan perkembangan terkini dan responsif terhadap konstelasi perubahan kebijakan terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia dengan perjanjian internasional. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebesar 26% (dengan upaya sendiri) dan 41% (dengan bantuan internasional) sampai dengan tahun 2020, sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN - GRK) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Komitmen nasional tersebut kemudian akan ditindaklanjuti di daerah yaitu dengan menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD- GRK) dan strategi daerah terkait implementasi REDD+. Sector kehutanan sendiri memproyeksikan untuk memberikan kontribusi penurunan emisi karbon sebesar 17,2 % dengan usaha sendiri dan 23% dengan bantuan dari total penurunan emisi pada tahun 2030.

Sebagai KPH model di Indonesia yang diharapkan dapat menjalankan peran tersebut, KPH Limau Unit VII-Hulu yang terletak di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, ditetapkan sebagai KPH Model sesuai SK Menhut Nomor SK. 714/MenhutII/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ± 121.102 ha, terdiri dari Hutan Lindung 54.793 ha, Hutan Produksi Tetap 22.502 ha dan Hutan Produksi 43.807 ha. Secara administratif, KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun terletak di Kabupaten Sarolangun. Kawasannya terdiri dari beberapa kelompok hutan produksi yaitu HP Batang Asai, HP Sungai Kutur dan HL Hulu Landai Bukit Pale.

Salah satu program dalam FIP II adalah penyusunan baseline data emisi karbon di Kawasan hutan KPH Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Baseline ini akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan skenario emisi karbon sebagaimana biasa (Business as Usual, BAU) dan skenario penurunan emisi dengan adanya program pengelolaan melaui FIP II.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari penyusunan petunjuk lapangan adalah untuk memberikan panduan dan prosedur dalam pelaksanaan survei karbon di Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.

Sedangkan tujuan dari kegiatan survei adalah untuk:

  1. Memverifikasi data dan informasi dari citra satelit di lapangan (ground check)
  2. Mengumpulkan data dan informasi terkait dengan kegiatan pengelolaan lahan di tingkat tapak terutama untuk kegiatan yang diduga berhubungan dengan penyerapan dan pelepasan emisi karbon
  3. Menyusun baseline emisi karbon kawasan hutan yang berada pada 10 desa terpilih.
  4. Menyusun skenario emisi karbon dengan menggunakan software Ex Ante Carbon Balance Tools (Ex Act-Tools) paska intervensi program dan kegiatan FIP II

Output

Luaran diharapkan dari kegiatan survei karbon di KPH Unit VII-Hulu, Provinsi Jambi adalah:

  1. Adanya dokumen baseline emisi untuk Kawasan hutan pada 10 desa terpilih dalam 5 tahun terakhir
  2. Adanya skenario emisi karbon mengunakan EX-ACT Tools dengan asumsi adanya intrevensi Program FIP II di KPH Unit VII Hulu Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi untuk Kawasan hutan pada 10 desa terpilih

 

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Agustus Oktober – Desember 2018. Lokasi penelitian di KPH Model Unit VII Hulu Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
Pengambilan sampel dilakukan di 10 desa yang berada di dalam wilayah KPH. Kegiatan Inventarisasi dan pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama sepuluh (10) hari terhitung dari tanggal 7 November sampai dengan 17 November 2018.

Metode Pengambilan Sampel

Dalam pelaksanaan survey, memerlukan persiapan yang baik sehingga data yang akan diambil sesuai dengan kebutuhan. Tahap persiapan meliputi:

Metode pengumpulan Data

Penutupan Lahan dan Perubahannya

Data penutupan lahan bersumber dari hasil analisis citra satelit resolusi sedang atau hasil interpretasinya yang disajikan dalam peta penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Ditjen Planalogi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK. Data penutup lahan selama 5 tahun terakhir (2013, 2014, 2015, 2016 dan 2017) akan digunakan untuk mengetahui luas aktivitas deforestasi, degradasi hutan, aforestasi dan reforestasi, dan berbagai bentuk alih penggunaan lahan lainnya untuk perkebunan, agroforestry dan pertanian yang terjadi di areal KPH dan areal target. Menurut peta penutupan lahan, terdapat 23 kelas penutup lahan, terdiri atas 7kelas tutupan hutan dan 15 kelas tutupan bukan hutan.

Kegiatan pemeriksaan lapangan juga diperlukan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan lahan dan penggunaan hutan terkait dengan perijinan kehutanan (IUPHHK Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman, IPPKH dll). Untuk keperluan pemeriksaan lapangan, pindahkan peta tutupan lahan tahun terbaru (2017) yang dan delineasi areal sudah terdeforestasi kedalam aplikasi Avenza Map. Aplikasi Avenza Map membantu untuk mendetilkan informasi penutup lahan, dokumentasi foto dan melakukan pengukuran luas
jika diperlukan.

Data Kebakaran Lahan

Peta Kebakaran Lahan menyajikan perkiraan lahan yang terbakar (burn scar) atas dasar informasi yang diperoleh dari hotspot dikombinasikan dengan hasil penafsiran citra satelit resolusi sedang. Data file SHP perkiraan lokasi dan luas kebakaran diperoleh dari Peta Kebakaran Lahan yang dikeluarkan oleh Ditjen PKTL, KLHK.

Cadangan Karbon dan Faktor Emisi

Data cadangan karbon dari setiap penutup lahan (hutan dan non hutan) diperoleh dari hasil pengukuran cadangan karbon dilakukan di areal KPH atau menggunakan informasi cadangan karbon yang dapat mewakili kondisi hutan di areal KPH tersebut (data local atau regional). Informasi cadangan karbon hutan dan cadangan karbon berbagai kondisi penutup lahan dapat diperoleh dari laporan inventarisasi hutan, laporan hasil penelitian dan jurnaljurnal ilmiah. Informasi cadangan karbon perlu dilengkapi dengan keterangan batas diameter minimal pohon yang diukur, luas plot, jumlah plot, pool karbon yang dicakup, nilai rata-rata biomas/karbon dan tingkat akurasinya (jika ada). Data cadangan karbon setiap kondisi penutup lahan diperlukan untuk menentukan factor emisi dari perubahan penutup lahan/ perubahan penggunaan lahan. Faktor emisi yang biasa diperlukan adalah factor emisi/serapan kegiatan deforestasi, degradasi hutan, aforestasi/aforestasi, pertanian dan peternakan. Faktor emisi dari kegiatan kehutanan, pertanian dan peternakan untuk wilayah regional/local dapat merujuk pada factor emisi yang disajikan dalam EFDB (emission factor data base) nasional.

Data Produksi Tanaman Pertanian dan Penggunaan Faktor Produksi Pertanian

Ex-Act Tools juga akan menghitung emisi yang bersumber dari kegiatan pertanian dan peternakan. Jika kegiatan pertanian dan peternakan cukup menonjol, faktor produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida perlu diperkirakan jumlahnya (misalnya penggunaan per satuan luas tanaman dalam 1 tahun). Terkait emisi peternakan, data aktivitas ditentukan berdasarkan jumlah rata-rata populasi ternak dalam satu tahun.

Identifikasi Pemicu Deforestasi dan Degradasi Hutan serta Data Pendukung Lain

Pengambilan data dilakukan dengan metode survey lapangan untuk memvalidasi data yang diperoleh dari analisis citra. Data-data selain perubahan tutupan lahan, mengacu pada metoda TIER-II, dengan melihat potensi-potensi yang berkaitan dengan peningkatan emisi, seperti data peternakan dan pertanian (monografi desa). Survey dilakukan secara purposive sampling. Data lain yang dibutuhkan diambil dari dari publlikasi statistik atau monografi desa.

Metode Analisis Data

Data tutupan lahan dan perubahannya disajikan dalam bentuk matrik perubahan penutupan lahan setiap periode tahunan dan periode 5 tahun (2013-2017) dan data peta tutupan lahan dan perubahannya yang memperlihatkan lokasi deforestasi dan aforestasi/reforestasi. Penghitungan hilangnya karbon atau emisi akibat perubahan tutupan lahan yang merupakan komponen terbesar dalam proses alih guna lahan dapat dilakukan dengan pendekatan perubahan cadangan (stock change) digunakan untuk menghitung emisi CO2. Perubahan cadangan karbon tahunan melibatkan biomassa permukaan yang terdapat dalam tipe tutupan lahan.

 

DESKRIPSI KAWASAN

Risalah Wilayah

Merujuk pada Penetapan Wilayah KPH Provinsi Jambi oleh Menteri Kehutanan melalui SK. Menhut Nomor SK.77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 terdapat 17 KPH di wilayah Provinsi Jambi meliputi area dengan luas ± 1.458.934 ha terdiri dari HL dengan luas ± 175.483 HP dengan luas ± 981.530 ha, HPT dengan luas ±301.922. Salah satu KPH tersebut adalah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun yang secara geografis terletak 102°46'12" sampai dengan 103°15’36" Bujur Timur dan 02°45’00" sampai dengan 03°16'48" Lintang Selatan. Secara administrasi pemerintahan, wilayah KPH VII terletak di 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Pelawan, Kecamatan Limun, Kecamatan Cermin Nan Gedang, dan Kecamatan Batang Asai. Batas-batas wilayah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun.

KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun di Kabupaten Sarolangun telah ditetapkan sebagai KPH sesuai SK Menhut Nomor SK. 714/Menhut-II/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ± 121.102 ha.

Berdasarkan analisis Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000 dan interpretasi peta topografi dan kemiringan lereng bahwa kawasan hutan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun memiliki topografi datar sampai berbukit

Hasil interpretasi Peta Geologi dalam kawasan hutan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun terdapat 15 (lima belas) formasi geologi. Formasi geologi terluas adalah Formasi Asai seluas 67.590,30 ha (52,59 %), tersusun dari batu pasir malihan, filite, batu sabak, batu lanau terkersikan, grewake, dan sisipan batu gamping. Setempat batu pasir kuarsa, argilit, sekis, genes, kuarsit, dan batu induk.

Keadaan hidrologi umumnya berpengaruh secara langsung terhadap sumber daya lahan dan potensi yang dimiliki Kabupaten Sarolangun. Dimana wilayah Kabupaten Sarolangun itu sendiri terbagi dalam 4 DAS yaitu DAS Batang Tembesi, DAS Batang Asai, DAS Batang Limun, dan DAS Batang Air Hitam.

Penutupan Hutan

Berdasarkan hasil penafsiran penutupan lahan diperoleh hasil tutupan lahan di KPH Model Unit VII – Hulu masih memiliki areal berhutan seluas 49.452.83 ha (43.82 %) dan non hutan seluas 63.727.64 ha (56.18 %).

Potensi Flora

Hutan Produksi Sungai Kutur; Pada hutan produksi Sungai Kutur ditemukan 49 jenis pohon.

Kawasan Moratorium di Blok Perlindungan Hutan Produksi Terbatas Lubuk Pekak; Jenis pohon penyusun kawasan moratorium pada Hutan Produksi Terbatas Lubuk Pekak KPHP Limau Unit VII-Hulu Sarolangun adalah 48 jenis.

Hutan Produksi Terbatas Bukit Lubuk Pekak Blok Pemanfaatan Terbatas; Hutan Produksi Terbatas Bukit Lubuk Pekak ditata sebagai blok pemanfaatan terbatas, berada pada tipe ekosistem hutan dataran rendah sampai perbukitan. Stadia pohon terdiri dari 43 jenis.

Potensi Fauna

Potensi fauna yang terdapat di dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Unit VII - Hulu diketahui berdasarkan hasil inventarisasi satwa yang dilakukan oleh Tim Biofisik pengamatan di KPH Sarolangun, baik dari hasil pengamatan langsung maupun pengamatan secara tidak langsung. Pengamatan tidak langsung yaitu berupa hasil temuan bekas jejak, bekas cakaran, maupun bekas makanan dari suatu jenis satwa. Selain dari hasi pengamatan tim biofisik, data potensi fauna juga diperoleh dari hasil pengamatan camera trap tim WARSI bekerja sama dengan ZSL di Desa Lubuk Bedorong, Desa Temalang, Sarolangun.

Secara administratif, Kabupaten Sarolangun memiliki 10 kecamatan. Namun secara spesifik hanya terdapat empat kecamatan yang berpengaruh terhadap Kawasan KPH. Dari aspek sosial ekonomi, terutama dari aspeksosial yaitu interaksi Kawasan hutanterhadap wilayah sekitar, maka terdapat 3 (tiga) kecamatan yang berpengaruh terhadap Kawasan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun , yaitu Kecamatan Batang Asai, Limun dan Cermin Nan Gedang (selanjutnya disingkat CNG).

Penduduk di ketiga tipe wilayah ini sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Sifat pekerjaan penduduk ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pekerjaan tetap dan pekerjaan musiman. Pekerjaan tetap adalah pekerjaan yang selalu dilakoni oleh penduduk setempat dan sebagai mata pencaharian utama, sedangkan pekerjaan musiman adalah pekerjaan yang didasari atas waktu, tempat atau keadaan pekerjaan itu sendiri dan tidak dilakoni sepenuhnya oleh penduduk sebagai mata pencaharian mereka.

Ijin Pemanfaatan Hutan

Di wilayah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun di Kabupaten Sarolangun terdapat areal Ex. HPH PT. Bina Lestari seluas 32.680 yang telah habis masa berlakunya pada Tahun 1999. Namun demikian dari luas wilayah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun seluas 121.102 Ha telah dibebani ijin usaha pemanfaatan hutan berupa ijin HTI untuk PT. Gading Karya Makmur dan PT. Hijau Antar Nusa seluas 32.680 Ha.

Ijin Penggunaan Kawasan Hutan/ Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Berdasarkan analisis spasial data di tingkat provinsi. pada wilayah KPH Limau Unit VIIHulu Sarolangun terdapat penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan. Saat ini terdapat pertambangan yang arealnya masuk dalam kawasan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun yaitu ijin pinjam pakai kawasan pada HL Hulu Landai Bukit Pale untuk usaha pertambangan emas (PT. Aneka Tambang). Izin pinjam pakai ini tidak lagi diperpanjang.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Tutupan Lahan

Hasil analisis batas kawasan hutan KPH Unit VII Hulu Limau Kabupaten Sarolangun, Jambi dengan batas desa menunjukan bahwa terdapat delapan dari sepuluh desa sasaran FIP II yang masuk dalam kawasan KPH Uni VII Hulu Limau. Adapun desa-desa tersebut adalah Desa Lubuk Bedorong dengan luas 3.271,82 ha; Desa Napal Melintang seluas 12.083,53 ha; Desa Raden Anon seluas 4.775,96 ha; Desa Simpang Narso dan Bukit Berantai seluas 5.940,37 ha dan Desa Tambak Ratu seluas 3.207,91 ha. Sehingga luas total kawasan KPH Unit VII Hulu Limau yang masuk dalam kawasan delapan desa tersebut adalah seluas 29.279,68 ha. Adapun dua desa sasaran FIP II yang tidak beririsan dengan kawasan hutan adalah Desa Berkun dan Desa Temanggung.

Analisis Karbon Menggunakan Ex-Act Tools

Hasil analisis tutupan lahan dan ground check menunjukan bahwa komponen kegiatan yang mempengaruhi karbon stock pada kawasan desa sasaran FIP II yang beririsan dengan Kawasan KPH Limau Unit VII Hulu adalah perubahan penggunaan lahan antara lain deforestasi, reforestasi; bidang pertanian terutama pertanian tanaman tahunan dan investasi input sarana pertanian terutama penggunaan pupuk dan bahan kimia pengendali hama, penyakit dan gulma.

Hasil perhitungan dengan menggunakan Ex Act Tools menunjukan bahwa dari perubahan penggunaan lahan maka dari deforestasi terjadi penurunan emisi karbon sebesar 7.815 tCO2eq dan untuk kegiatan reforestasi terjadi penurunan emisi karbon sebesar 21.091 tCO2eq untuk kegiatan implementasi selama lima tahun. Sementara itu, dari kegiatan pengelolaan pertanian tanaman tahunan dihitung akan mengurangi emisi karbon sebanyak 340 tCO2eq. sementara sebagai akibat dari penggunaan pupuk dan bahan kimia selama proyek berlangsung akan melepaskan karbon sebanyak 494 tCO2eq. Sehingga secara total, dari kegiatan projek FIP II dengan asumsi di atas akan terjadi pengurangan emisi karbon sebanya 28.752 tCO2eq. Secara rata-rata pengurangan emisi karbon dari kegiatan ini adalah 1,0 tCO2eq per hektar.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis citra, peninjauan lapangan dan analisis data maka beberapa kesimpulan dapat dirumuskan dari penelitian ini:

  1. Bahwa secara alami, hutan akan melakukan proses pemulihan pasca terjadi kerusakan yaitu ditandai dengan perbaikan penutupan lahan dan peningkatan serapan karbon.
  2. Kondisi tutupan lahan pada Kawasan studi masih cukup baik yaitu sekitar 80,00 % masih berupa tutupan hutan primer.
  3. Komponen utama penyebab karbon fluxes pada delapan Kawasan desa dalam Kawasan KPH Limau Unit VII Hulu Provinsi Jambi adalah deforestasi dan pemuliahan alami atau aforestasi pada beberapa tapak Kawasan hutan.
  4. Simulasi pengitungan dengan menggunakan Ex-ACT Tools menunjukan bahwa tanpa adanya intrevensi atau Business as Usual (BAU), maka akan terjadi penurunan emisi karbon sebesar 7.815 tCO2eq selama lima tahun ke depan. Jika dilakukan intrevensi pada skala dan kegiatan tertentu maka dapat menambah penurunan emisi hingga sebesar 21.091 tCO2eq sehingga total penurunan emisi karbon dalam lima tahun kedepan sebesar 28.752 tCO2eq.
  5. Secara rata-rata pengurangan emisi karbon dari kegiatan ini adalah 1,0 tCO2eq per hektar.

Saran

Perlu dilakukan verifikasi ulang terhadap rencana intervensi dalam kegiatan FIP II terutama yang terkait dengan upaya penurunan emisi karbon sehingga capaian target emisi dapat disesuaikan dengan kebutuhan atau target penurunan emisi karbon nasional.

 

 

cloud
cloud

Laporan Study Baseline Analisa Carbon KPH Limau


blog

SURVEY KARBON

PROJECT II FOREST INVESTMENT PROGRAM

KPH LIMAU UNIT VII-HULU PROVINSI JAMBI

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Isu perubahan iklim dan implementasi REDD+ merupakan isu yang kompleks dan berkembang sangat cepat dari waktu ke waktu. Disamping itu, kedua isu tersebut juga berkaitan erat dengan science dan aspek teknis/ metodologis, sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan Pemahaman dan pengetahuan serta meningkatkan kapasitas para pihak di daerah agar selalu up-to-date dengan perkembangan terkini dan responsif terhadap konstelasi perubahan kebijakan terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia dengan perjanjian internasional. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebesar 26% (dengan upaya sendiri) dan 41% (dengan bantuan internasional) sampai dengan tahun 2020, sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN - GRK) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Komitmen nasional tersebut kemudian akan ditindaklanjuti di daerah yaitu dengan menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD- GRK) dan strategi daerah terkait implementasi REDD+. Sector kehutanan sendiri memproyeksikan untuk memberikan kontribusi penurunan emisi karbon sebesar 17,2 % dengan usaha sendiri dan 23% dengan bantuan dari total penurunan emisi pada tahun 2030.

Sebagai KPH model di Indonesia yang diharapkan dapat menjalankan peran tersebut, KPH Limau Unit VII-Hulu yang terletak di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, ditetapkan sebagai KPH Model sesuai SK Menhut Nomor SK. 714/MenhutII/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ± 121.102 ha, terdiri dari Hutan Lindung 54.793 ha, Hutan Produksi Tetap 22.502 ha dan Hutan Produksi 43.807 ha. Secara administratif, KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun terletak di Kabupaten Sarolangun. Kawasannya terdiri dari beberapa kelompok hutan produksi yaitu HP Batang Asai, HP Sungai Kutur dan HL Hulu Landai Bukit Pale.

Salah satu program dalam FIP II adalah penyusunan baseline data emisi karbon di Kawasan hutan KPH Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Baseline ini akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan skenario emisi karbon sebagaimana biasa (Business as Usual, BAU) dan skenario penurunan emisi dengan adanya program pengelolaan melaui FIP II.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari penyusunan petunjuk lapangan adalah untuk memberikan panduan dan prosedur dalam pelaksanaan survei karbon di Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.

Sedangkan tujuan dari kegiatan survei adalah untuk:

  1. Memverifikasi data dan informasi dari citra satelit di lapangan (ground check)
  2. Mengumpulkan data dan informasi terkait dengan kegiatan pengelolaan lahan di tingkat tapak terutama untuk kegiatan yang diduga berhubungan dengan penyerapan dan pelepasan emisi karbon
  3. Menyusun baseline emisi karbon kawasan hutan yang berada pada 10 desa terpilih.
  4. Menyusun skenario emisi karbon dengan menggunakan software Ex Ante Carbon Balance Tools (Ex Act-Tools) paska intervensi program dan kegiatan FIP II

Output

Luaran diharapkan dari kegiatan survei karbon di KPH Unit VII-Hulu, Provinsi Jambi adalah:

  1. Adanya dokumen baseline emisi untuk Kawasan hutan pada 10 desa terpilih dalam 5 tahun terakhir
  2. Adanya skenario emisi karbon mengunakan EX-ACT Tools dengan asumsi adanya intrevensi Program FIP II di KPH Unit VII Hulu Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi untuk Kawasan hutan pada 10 desa terpilih

 

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Agustus Oktober – Desember 2018. Lokasi penelitian di KPH Model Unit VII Hulu Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
Pengambilan sampel dilakukan di 10 desa yang berada di dalam wilayah KPH. Kegiatan Inventarisasi dan pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama sepuluh (10) hari terhitung dari tanggal 7 November sampai dengan 17 November 2018.

Metode Pengambilan Sampel

Dalam pelaksanaan survey, memerlukan persiapan yang baik sehingga data yang akan diambil sesuai dengan kebutuhan. Tahap persiapan meliputi:

  • Pengurusan administrasi
  • Penyusunan tally sheet dan questioner
  • Penyiapan enumerator:
    • Seleksi Enumerator
    • Pembekalan Materi terhadap Enumerator
    • Penyampaian Job Desk
  • Penelusuran data dan peta sebagai bahan dasar dalam menentukan peta kerja, yang meliputi Peta Lokasi penelitian, Data umum wilayah, Monografi Desa, Peta Administrasi Desa, Peta dan Tutupan Lahan tahun 2013 – 2017, Peta kebakaran hutan dan lahan dan peta pendukung lainnya.
  • Penelusuran data dan hasil penelitian terkait lokasi penelitian
  • Data-data lain yang dianggap perlu
  • Persiapan peralatan meliputi ATK, GPS, Kamera dan Drone (Bila diperlukan).
  • Memproses data digital tutupan lahan untuk KPH Unit VII Hulu Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi dengan fokus pada 10 desa target implementasi FIP2.
  • Membuat Peta Kerja.

Metode pengumpulan Data

Penutupan Lahan dan Perubahannya

Data penutupan lahan bersumber dari hasil analisis citra satelit resolusi sedang atau hasil interpretasinya yang disajikan dalam peta penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Ditjen Planalogi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK. Data penutup lahan selama 5 tahun terakhir (2013, 2014, 2015, 2016 dan 2017) akan digunakan untuk mengetahui luas aktivitas deforestasi, degradasi hutan, aforestasi dan reforestasi, dan berbagai bentuk alih penggunaan lahan lainnya untuk perkebunan, agroforestry dan pertanian yang terjadi di areal KPH dan areal target. Menurut peta penutupan lahan, terdapat 23 kelas penutup lahan, terdiri atas 7kelas tutupan hutan dan 15 kelas tutupan bukan hutan.

Kegiatan pemeriksaan lapangan juga diperlukan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan lahan dan penggunaan hutan terkait dengan perijinan kehutanan (IUPHHK Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman, IPPKH dll). Untuk keperluan pemeriksaan lapangan, pindahkan peta tutupan lahan tahun terbaru (2017) yang dan delineasi areal sudah terdeforestasi kedalam aplikasi Avenza Map. Aplikasi Avenza Map membantu untuk mendetilkan informasi penutup lahan, dokumentasi foto dan melakukan pengukuran luas
jika diperlukan.

Data Kebakaran Lahan

Peta Kebakaran Lahan menyajikan perkiraan lahan yang terbakar (burn scar) atas dasar informasi yang diperoleh dari hotspot dikombinasikan dengan hasil penafsiran citra satelit resolusi sedang. Data file SHP perkiraan lokasi dan luas kebakaran diperoleh dari Peta Kebakaran Lahan yang dikeluarkan oleh Ditjen PKTL, KLHK.

Cadangan Karbon dan Faktor Emisi

Data cadangan karbon dari setiap penutup lahan (hutan dan non hutan) diperoleh dari hasil pengukuran cadangan karbon dilakukan di areal KPH atau menggunakan informasi cadangan karbon yang dapat mewakili kondisi hutan di areal KPH tersebut (data local atau regional). Informasi cadangan karbon hutan dan cadangan karbon berbagai kondisi penutup lahan dapat diperoleh dari laporan inventarisasi hutan, laporan hasil penelitian dan jurnaljurnal ilmiah. Informasi cadangan karbon perlu dilengkapi dengan keterangan batas diameter minimal pohon yang diukur, luas plot, jumlah plot, pool karbon yang dicakup, nilai rata-rata biomas/karbon dan tingkat akurasinya (jika ada). Data cadangan karbon setiap kondisi penutup lahan diperlukan untuk menentukan factor emisi dari perubahan penutup lahan/ perubahan penggunaan lahan. Faktor emisi yang biasa diperlukan adalah factor emisi/serapan kegiatan deforestasi, degradasi hutan, aforestasi/aforestasi, pertanian dan peternakan. Faktor emisi dari kegiatan kehutanan, pertanian dan peternakan untuk wilayah regional/local dapat merujuk pada factor emisi yang disajikan dalam EFDB (emission factor data base) nasional.

Data Produksi Tanaman Pertanian dan Penggunaan Faktor Produksi Pertanian

Ex-Act Tools juga akan menghitung emisi yang bersumber dari kegiatan pertanian dan peternakan. Jika kegiatan pertanian dan peternakan cukup menonjol, faktor produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida perlu diperkirakan jumlahnya (misalnya penggunaan per satuan luas tanaman dalam 1 tahun). Terkait emisi peternakan, data aktivitas ditentukan berdasarkan jumlah rata-rata populasi ternak dalam satu tahun.

Identifikasi Pemicu Deforestasi dan Degradasi Hutan serta Data Pendukung Lain

Pengambilan data dilakukan dengan metode survey lapangan untuk memvalidasi data yang diperoleh dari analisis citra. Data-data selain perubahan tutupan lahan, mengacu pada metoda TIER-II, dengan melihat potensi-potensi yang berkaitan dengan peningkatan emisi, seperti data peternakan dan pertanian (monografi desa). Survey dilakukan secara purposive sampling. Data lain yang dibutuhkan diambil dari dari publlikasi statistik atau monografi desa.

Metode Analisis Data

Data tutupan lahan dan perubahannya disajikan dalam bentuk matrik perubahan penutupan lahan setiap periode tahunan dan periode 5 tahun (2013-2017) dan data peta tutupan lahan dan perubahannya yang memperlihatkan lokasi deforestasi dan aforestasi/reforestasi. Penghitungan hilangnya karbon atau emisi akibat perubahan tutupan lahan yang merupakan komponen terbesar dalam proses alih guna lahan dapat dilakukan dengan pendekatan perubahan cadangan (stock change) digunakan untuk menghitung emisi CO2. Perubahan cadangan karbon tahunan melibatkan biomassa permukaan yang terdapat dalam tipe tutupan lahan.

 

DESKRIPSI KAWASAN

Risalah Wilayah

  • Letak dan Luas

Merujuk pada Penetapan Wilayah KPH Provinsi Jambi oleh Menteri Kehutanan melalui SK. Menhut Nomor SK.77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 terdapat 17 KPH di wilayah Provinsi Jambi meliputi area dengan luas ± 1.458.934 ha terdiri dari HL dengan luas ± 175.483 HP dengan luas ± 981.530 ha, HPT dengan luas ±301.922. Salah satu KPH tersebut adalah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun yang secara geografis terletak 102°46'12" sampai dengan 103°15’36" Bujur Timur dan 02°45’00" sampai dengan 03°16'48" Lintang Selatan. Secara administrasi pemerintahan, wilayah KPH VII terletak di 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Pelawan, Kecamatan Limun, Kecamatan Cermin Nan Gedang, dan Kecamatan Batang Asai. Batas-batas wilayah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun.

KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun di Kabupaten Sarolangun telah ditetapkan sebagai KPH sesuai SK Menhut Nomor SK. 714/Menhut-II/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ± 121.102 ha.

  • Topografi

Berdasarkan analisis Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000 dan interpretasi peta topografi dan kemiringan lereng bahwa kawasan hutan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun memiliki topografi datar sampai berbukit

  • Formasi Geologi dan Jenis Tanah

Hasil interpretasi Peta Geologi dalam kawasan hutan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun terdapat 15 (lima belas) formasi geologi. Formasi geologi terluas adalah Formasi Asai seluas 67.590,30 ha (52,59 %), tersusun dari batu pasir malihan, filite, batu sabak, batu lanau terkersikan, grewake, dan sisipan batu gamping. Setempat batu pasir kuarsa, argilit, sekis, genes, kuarsit, dan batu induk.

  • Daerah Aliran Sungai

Keadaan hidrologi umumnya berpengaruh secara langsung terhadap sumber daya lahan dan potensi yang dimiliki Kabupaten Sarolangun. Dimana wilayah Kabupaten Sarolangun itu sendiri terbagi dalam 4 DAS yaitu DAS Batang Tembesi, DAS Batang Asai, DAS Batang Limun, dan DAS Batang Air Hitam.

  • Potensi Sumberdaya Hutan

Penutupan Hutan

Berdasarkan hasil penafsiran penutupan lahan diperoleh hasil tutupan lahan di KPH Model Unit VII – Hulu masih memiliki areal berhutan seluas 49.452.83 ha (43.82 %) dan non hutan seluas 63.727.64 ha (56.18 %).

Potensi Flora

Hutan Produksi Sungai Kutur; Pada hutan produksi Sungai Kutur ditemukan 49 jenis pohon.

Kawasan Moratorium di Blok Perlindungan Hutan Produksi Terbatas Lubuk Pekak; Jenis pohon penyusun kawasan moratorium pada Hutan Produksi Terbatas Lubuk Pekak KPHP Limau Unit VII-Hulu Sarolangun adalah 48 jenis.

Hutan Produksi Terbatas Bukit Lubuk Pekak Blok Pemanfaatan Terbatas; Hutan Produksi Terbatas Bukit Lubuk Pekak ditata sebagai blok pemanfaatan terbatas, berada pada tipe ekosistem hutan dataran rendah sampai perbukitan. Stadia pohon terdiri dari 43 jenis.

Potensi Fauna

Potensi fauna yang terdapat di dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Unit VII - Hulu diketahui berdasarkan hasil inventarisasi satwa yang dilakukan oleh Tim Biofisik pengamatan di KPH Sarolangun, baik dari hasil pengamatan langsung maupun pengamatan secara tidak langsung. Pengamatan tidak langsung yaitu berupa hasil temuan bekas jejak, bekas cakaran, maupun bekas makanan dari suatu jenis satwa. Selain dari hasi pengamatan tim biofisik, data potensi fauna juga diperoleh dari hasil pengamatan camera trap tim WARSI bekerja sama dengan ZSL di Desa Lubuk Bedorong, Desa Temalang, Sarolangun.

  • Kondisi Penduduk

Secara administratif, Kabupaten Sarolangun memiliki 10 kecamatan. Namun secara spesifik hanya terdapat empat kecamatan yang berpengaruh terhadap Kawasan KPH. Dari aspek sosial ekonomi, terutama dari aspeksosial yaitu interaksi Kawasan hutanterhadap wilayah sekitar, maka terdapat 3 (tiga) kecamatan yang berpengaruh terhadap Kawasan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun , yaitu Kecamatan Batang Asai, Limun dan Cermin Nan Gedang (selanjutnya disingkat CNG).

Penduduk di ketiga tipe wilayah ini sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Sifat pekerjaan penduduk ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pekerjaan tetap dan pekerjaan musiman. Pekerjaan tetap adalah pekerjaan yang selalu dilakoni oleh penduduk setempat dan sebagai mata pencaharian utama, sedangkan pekerjaan musiman adalah pekerjaan yang didasari atas waktu, tempat atau keadaan pekerjaan itu sendiri dan tidak dilakoni sepenuhnya oleh penduduk sebagai mata pencaharian mereka.

  • Kondisi Ijin Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Ijin Pemanfaatan Hutan

Di wilayah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun di Kabupaten Sarolangun terdapat areal Ex. HPH PT. Bina Lestari seluas 32.680 yang telah habis masa berlakunya pada Tahun 1999. Namun demikian dari luas wilayah KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun seluas 121.102 Ha telah dibebani ijin usaha pemanfaatan hutan berupa ijin HTI untuk PT. Gading Karya Makmur dan PT. Hijau Antar Nusa seluas 32.680 Ha.

Ijin Penggunaan Kawasan Hutan/ Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Berdasarkan analisis spasial data di tingkat provinsi. pada wilayah KPH Limau Unit VIIHulu Sarolangun terdapat penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan. Saat ini terdapat pertambangan yang arealnya masuk dalam kawasan KPH Limau Unit VII-Hulu Sarolangun yaitu ijin pinjam pakai kawasan pada HL Hulu Landai Bukit Pale untuk usaha pertambangan emas (PT. Aneka Tambang). Izin pinjam pakai ini tidak lagi diperpanjang.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Tutupan Lahan

Hasil analisis batas kawasan hutan KPH Unit VII Hulu Limau Kabupaten Sarolangun, Jambi dengan batas desa menunjukan bahwa terdapat delapan dari sepuluh desa sasaran FIP II yang masuk dalam kawasan KPH Uni VII Hulu Limau. Adapun desa-desa tersebut adalah Desa Lubuk Bedorong dengan luas 3.271,82 ha; Desa Napal Melintang seluas 12.083,53 ha; Desa Raden Anon seluas 4.775,96 ha; Desa Simpang Narso dan Bukit Berantai seluas 5.940,37 ha dan Desa Tambak Ratu seluas 3.207,91 ha. Sehingga luas total kawasan KPH Unit VII Hulu Limau yang masuk dalam kawasan delapan desa tersebut adalah seluas 29.279,68 ha. Adapun dua desa sasaran FIP II yang tidak beririsan dengan kawasan hutan adalah Desa Berkun dan Desa Temanggung.

Analisis Karbon Menggunakan Ex-Act Tools

Hasil analisis tutupan lahan dan ground check menunjukan bahwa komponen kegiatan yang mempengaruhi karbon stock pada kawasan desa sasaran FIP II yang beririsan dengan Kawasan KPH Limau Unit VII Hulu adalah perubahan penggunaan lahan antara lain deforestasi, reforestasi; bidang pertanian terutama pertanian tanaman tahunan dan investasi input sarana pertanian terutama penggunaan pupuk dan bahan kimia pengendali hama, penyakit dan gulma.

Hasil perhitungan dengan menggunakan Ex Act Tools menunjukan bahwa dari perubahan penggunaan lahan maka dari deforestasi terjadi penurunan emisi karbon sebesar 7.815 tCO2eq dan untuk kegiatan reforestasi terjadi penurunan emisi karbon sebesar 21.091 tCO2eq untuk kegiatan implementasi selama lima tahun. Sementara itu, dari kegiatan pengelolaan pertanian tanaman tahunan dihitung akan mengurangi emisi karbon sebanyak 340 tCO2eq. sementara sebagai akibat dari penggunaan pupuk dan bahan kimia selama proyek berlangsung akan melepaskan karbon sebanyak 494 tCO2eq. Sehingga secara total, dari kegiatan projek FIP II dengan asumsi di atas akan terjadi pengurangan emisi karbon sebanya 28.752 tCO2eq. Secara rata-rata pengurangan emisi karbon dari kegiatan ini adalah 1,0 tCO2eq per hektar.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis citra, peninjauan lapangan dan analisis data maka beberapa kesimpulan dapat dirumuskan dari penelitian ini:

  1. Bahwa secara alami, hutan akan melakukan proses pemulihan pasca terjadi kerusakan yaitu ditandai dengan perbaikan penutupan lahan dan peningkatan serapan karbon.
  2. Kondisi tutupan lahan pada Kawasan studi masih cukup baik yaitu sekitar 80,00 % masih berupa tutupan hutan primer.
  3. Komponen utama penyebab karbon fluxes pada delapan Kawasan desa dalam Kawasan KPH Limau Unit VII Hulu Provinsi Jambi adalah deforestasi dan pemuliahan alami atau aforestasi pada beberapa tapak Kawasan hutan.
  4. Simulasi pengitungan dengan menggunakan Ex-ACT Tools menunjukan bahwa tanpa adanya intrevensi atau Business as Usual (BAU), maka akan terjadi penurunan emisi karbon sebesar 7.815 tCO2eq selama lima tahun ke depan. Jika dilakukan intrevensi pada skala dan kegiatan tertentu maka dapat menambah penurunan emisi hingga sebesar 21.091 tCO2eq sehingga total penurunan emisi karbon dalam lima tahun kedepan sebesar 28.752 tCO2eq.
  5. Secara rata-rata pengurangan emisi karbon dari kegiatan ini adalah 1,0 tCO2eq per hektar.

Saran

Perlu dilakukan verifikasi ulang terhadap rencana intervensi dalam kegiatan FIP II terutama yang terkait dengan upaya penurunan emisi karbon sehingga capaian target emisi dapat disesuaikan dengan kebutuhan atau target penurunan emisi karbon nasional.

 

 

473
2   0

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini