“Kami mengedepankan rasa, bukan aturan”, demikian jawab Pak Suwarno, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Megang I, Kecamatan Megang Sakti, Kabupaten Musi Rawas, menjawab pertanyaan tentang apakah aturan Hutan Desa (HD) bisa ditegakkan. “Jika hanya aturan-aturan dalam mengelola hutan yang disampaikan, masyarakat bukan saja menjauh tetapi malah melawan”, tambah Pak Suwarno. Pernyataan senada juga dikemukan Pak Wagimin, Ketua LPHD Lubuk Rumbai, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musi Rawas. “Kami belum bisa menerapkan sanksi, meskipun ada secara tertulis. Mereka (penerima manfaat langsung HD) tidak menolak HD ini saja, kita sudah mesti bersyukur”, ujar Pak Wagimin. Dua pernyataan tersebut terungkap pada saat wawancara penelitian “Penguatan Kelembagaan Hutan Desa”, Bulan Oktober 2021 lalu.

Mengedepankan rasa: Strategi masyarakat lokal mengelola Hutan Desa

Hutan Desa adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. HD merupakan salah satu dari lima skema Program Perhutanan Sosial. Sebagai program pemerintah, HD dikenalkan pertama kali pada tahun 2007/2008. Beberapa desa menerima dan mengajukan usulan HD, meskipun pada tahun 2010-an prosesnya cukup birokratis. Ini berarti HD, baik sebagai konsepsi maupun praksis, merupakan hal baru bagi masyarakat desa. Apakah HD dapat melembaga dalam kehidupan masyarakat desa? Strategi apa yang dijalankan pengurus LPHD untuk melembagakan HD?

Pertanyaan tentang pelembagaan dan kelembagaan HD tersebutlah yang hendak dijawab oleh peneliti. HD Lubuk Rumbai dan HD Muara Megang I menjadi lokus penelitian atas pertimbangan penilaian awal terhadap perbedaan kinerja kelembagaan. Peneliti melakukan observasi lapang, wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam.

Memenuhi aspek legalitas

Proses pelembagaan Hutan Desa di dua lokasi tersebut dimulai dari acara sosialisasi, pada tahun 2009 di Lubuk Rumbai dan 2010 di Muara Megang I. Pada tahun 2012, kepala desa membentuk LPHD. Lalu, tahun 2013 Menteri Kehutanan menetapkan areal kerja HD, seluas 198 Ha untuk Lubuk Rumbai dan 764 Ha untuk Muara Megang I. Tahun 2015, Gubernur Sumatera Selatan mengeluarkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Hutan Desa. Meskipun telah mendapatkan legalitas untuk mengelola HD, sampai dengan awal tahun 2018 dua LPHD tersebut belum mendapatkan kejelasan posisi areal kerja.

Pada tahun 2018, Perhutanan Sosial Indonesia kembali menggeliat. Seiring dengan itu, LPHD Lubuk Rumbai berinisiatif untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang izin; menyusun Rencana Kerja, memetakan areal kerja, merancang zona dan blok pengelolaan. Kerja lapang ini didukung dan difasilitasi oleh pihak KPH Lakitan-Bukit Cogong. Pendampingan dan fasilitasi untuk menyusun Rencana Kerja juga dilakukan terhadap LPHD Muara Megang I. LPHD difasilitasi pula untuk mengikuti pendidikan-latihan, sekolah lapang, dan studi banding. Bersama-sama dengan penyuluh pendamping, LPHD menyusun AD/ART, membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), dan mengembangkan usaha.

Aksi-aksi HD yang dilakukan LPHD dan penyuluh pendamping telah memenuhi aspek legalitas. Norma-norma tertulis dalam regulasi tentang PS telah berusaha diikuti dan dipenuhi.

Menghindari konflik

Lantas, apakah norma-norma tertulis di dalam bentuk Rencana Kerja, AD/ART LPHD, AD/ART KUPS menjadi pedoman bagi individu-individu yang secara faktual mengelola lahan di areal kerja HD? Hasil wawancara dan observasi lapang menunjukkan bahwa norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari adalah penguasaan kebun milik (private property regime). Pengelolaan pada tingkat kawasan belum memedomani aturan atau rencana tertulis. Pemanfaat langsung melakukan aktivitas pada lahan masing-masing, lalu menjual produknya dalam bentuk getah karet, masih secara individual.

Hal yang cukup menggembirakan dari proses pelembagaan HD di dua lokasi adalah keberadaan entitas LPHD dan penyuluh pendamping yang bersifat aktif. Entitas ini terus belajar meningkatkan kapabilitas diri dan memahami kewajiban HD. Salah satu dampaknya adalah peristiwa karhutlah  dapat tertangani dengan baik.

Tantangan utama LPHD dalam mengelola HD adalah menciptakan kebersamaan faktual di antara pemanfaat langsung kawasan/penguasa lahan. Pemanfaat langsung ini telah sejak awal, jauh sebelum pelembagaan HD, menguasai dan mengelola lahan secara individual, tanpa koordinasi dengan pemerintahan, dan tanpa terorganisasi. Bagi mereka, areal HD ada kebun milik pribadi. Kebun adalah aset pribadi untuk memenuhi nafkah rumah tangga. Kelembagaan ini sudah mapan. Karenanya, menegakkan aturan “tidak boleh menanam kelapa sawit”, tidak bisa dilakukan. Bahkan harus dihindari, untuk mencegah penolakan dan konflik terbuka.

Begitulah strategi masyarakat memerankan LPHD. Mengedepankan rasa.  Berusaha patuh terhadap regulasi atau aturan pemerintah, di satu sisi, menjaga hubungan harmoni antarmasyarakat, di sisi lain. (Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono).

Sumber : https://www.bpk-palembang.org

cloud
cloud

Mengedepankan rasa: Strategi masyarakat lokal mengelola Hutan Desa


blog

“Kami mengedepankan rasa, bukan aturan”, demikian jawab Pak Suwarno, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Megang I, Kecamatan Megang Sakti, Kabupaten Musi Rawas, menjawab pertanyaan tentang apakah aturan Hutan Desa (HD) bisa ditegakkan. “Jika hanya aturan-aturan dalam mengelola hutan yang disampaikan, masyarakat bukan saja menjauh tetapi malah melawan”, tambah Pak Suwarno. Pernyataan senada juga dikemukan Pak Wagimin, Ketua LPHD Lubuk Rumbai, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musi Rawas. “Kami belum bisa menerapkan sanksi, meskipun ada secara tertulis. Mereka (penerima manfaat langsung HD) tidak menolak HD ini saja, kita sudah mesti bersyukur”, ujar Pak Wagimin. Dua pernyataan tersebut terungkap pada saat wawancara penelitian “Penguatan Kelembagaan Hutan Desa”, Bulan Oktober 2021 lalu.

Mengedepankan rasa: Strategi masyarakat lokal mengelola Hutan Desa

Hutan Desa adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. HD merupakan salah satu dari lima skema Program Perhutanan Sosial. Sebagai program pemerintah, HD dikenalkan pertama kali pada tahun 2007/2008. Beberapa desa menerima dan mengajukan usulan HD, meskipun pada tahun 2010-an prosesnya cukup birokratis. Ini berarti HD, baik sebagai konsepsi maupun praksis, merupakan hal baru bagi masyarakat desa. Apakah HD dapat melembaga dalam kehidupan masyarakat desa? Strategi apa yang dijalankan pengurus LPHD untuk melembagakan HD?

Pertanyaan tentang pelembagaan dan kelembagaan HD tersebutlah yang hendak dijawab oleh peneliti. HD Lubuk Rumbai dan HD Muara Megang I menjadi lokus penelitian atas pertimbangan penilaian awal terhadap perbedaan kinerja kelembagaan. Peneliti melakukan observasi lapang, wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam.

Memenuhi aspek legalitas

Proses pelembagaan Hutan Desa di dua lokasi tersebut dimulai dari acara sosialisasi, pada tahun 2009 di Lubuk Rumbai dan 2010 di Muara Megang I. Pada tahun 2012, kepala desa membentuk LPHD. Lalu, tahun 2013 Menteri Kehutanan menetapkan areal kerja HD, seluas 198 Ha untuk Lubuk Rumbai dan 764 Ha untuk Muara Megang I. Tahun 2015, Gubernur Sumatera Selatan mengeluarkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Hutan Desa. Meskipun telah mendapatkan legalitas untuk mengelola HD, sampai dengan awal tahun 2018 dua LPHD tersebut belum mendapatkan kejelasan posisi areal kerja.

Pada tahun 2018, Perhutanan Sosial Indonesia kembali menggeliat. Seiring dengan itu, LPHD Lubuk Rumbai berinisiatif untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang izin; menyusun Rencana Kerja, memetakan areal kerja, merancang zona dan blok pengelolaan. Kerja lapang ini didukung dan difasilitasi oleh pihak KPH Lakitan-Bukit Cogong. Pendampingan dan fasilitasi untuk menyusun Rencana Kerja juga dilakukan terhadap LPHD Muara Megang I. LPHD difasilitasi pula untuk mengikuti pendidikan-latihan, sekolah lapang, dan studi banding. Bersama-sama dengan penyuluh pendamping, LPHD menyusun AD/ART, membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), dan mengembangkan usaha.

Aksi-aksi HD yang dilakukan LPHD dan penyuluh pendamping telah memenuhi aspek legalitas. Norma-norma tertulis dalam regulasi tentang PS telah berusaha diikuti dan dipenuhi.

Menghindari konflik

Lantas, apakah norma-norma tertulis di dalam bentuk Rencana Kerja, AD/ART LPHD, AD/ART KUPS menjadi pedoman bagi individu-individu yang secara faktual mengelola lahan di areal kerja HD? Hasil wawancara dan observasi lapang menunjukkan bahwa norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari adalah penguasaan kebun milik (private property regime). Pengelolaan pada tingkat kawasan belum memedomani aturan atau rencana tertulis. Pemanfaat langsung melakukan aktivitas pada lahan masing-masing, lalu menjual produknya dalam bentuk getah karet, masih secara individual.

Hal yang cukup menggembirakan dari proses pelembagaan HD di dua lokasi adalah keberadaan entitas LPHD dan penyuluh pendamping yang bersifat aktif. Entitas ini terus belajar meningkatkan kapabilitas diri dan memahami kewajiban HD. Salah satu dampaknya adalah peristiwa karhutlah  dapat tertangani dengan baik.

Tantangan utama LPHD dalam mengelola HD adalah menciptakan kebersamaan faktual di antara pemanfaat langsung kawasan/penguasa lahan. Pemanfaat langsung ini telah sejak awal, jauh sebelum pelembagaan HD, menguasai dan mengelola lahan secara individual, tanpa koordinasi dengan pemerintahan, dan tanpa terorganisasi. Bagi mereka, areal HD ada kebun milik pribadi. Kebun adalah aset pribadi untuk memenuhi nafkah rumah tangga. Kelembagaan ini sudah mapan. Karenanya, menegakkan aturan “tidak boleh menanam kelapa sawit”, tidak bisa dilakukan. Bahkan harus dihindari, untuk mencegah penolakan dan konflik terbuka.

Begitulah strategi masyarakat memerankan LPHD. Mengedepankan rasa.  Berusaha patuh terhadap regulasi atau aturan pemerintah, di satu sisi, menjaga hubungan harmoni antarmasyarakat, di sisi lain. (Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono).

Sumber : https://www.bpk-palembang.org

2587
0   0

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini