Oleh: Swary Utami Dewi

Dalam praktik Perhutanan Sosial, kopi sejak lama menjadi bagian tidak terpisahkan di berbagai tempat di Indonesia. Namun seringkali, yang tertanam di benak banyak orang, kopi hanyalah hasil sektor perkebunan semata. Kenyataannya, kopi agroforestri dari kawasan hutan negara juga memegang peranan penting dan berkontribusi pada perkopian Indonesia dan dunia.

Untuk memahami semua ini, ada baiknya kita menengok sekilas sejarah kopi di Indonesia. Dari beberapa literatur diketahui bahwa sejarah budidaya kopi di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-17. Situs nescafe.com menuliskan, tepatnya pada 1696, perusahaan dagang Belanda-lah, VOC (Verininging Oogst Indies Company), membawa bibit kopi jenis Arabika dari Malabar, India, untuk ditanam di Kedawung, tidak jauh dari Batavia. Penanaman itu gagal karena faktor bencana dan cuaca.

Tiga tahun kemudian, VOC membawa kembali batang kopi hasil stek, masih dari Malabar. Kali ini bibit kopi ditanam di Batavia dan berhasil tumbuh. Pada tahun 1706, biji kopi hasil tanaman pertama ini menjadi populer, bahkan kemudian menjadi komoditi ekspor VOC ke Eropa. VOC lalu memutuskan untuk menanam kopi di berbagai tempat di Indonesia. Hingga kini, keturunan kopi tersebut, dengan berbagai jenis dan variasinya, ditemui di berbagai tempat, termasuk di kawasan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Beberapa pegiat Perhutanan Sosial menulis, memang ada suatu masa di mana tanaman kopi di kawasan hutan negara menjadi sesuatu yang tabu, jika bukan dikatakan terlarang. Ia ada, tapi dinilai tidak tepat di situ. Kopi di kawasan hutan pada suatu masa pernah ditolak. Petani kopi, yang sudah cukup lama mengelola kawasan hutan, harus “mencuri-curi” masuk kawasan untuk melakukan budidaya.

Seiring berjalannya waktu, kebijakan menunjukkan keberpihakan pada kopi di kawasan hutan negara. Fenomena kopi memang tidak mungkin dihindari. Nilai ekonomi, budaya dan kenyataan bahwa kopi bisa tumbuh manis berdampingan dengan berbagai pohon dan tanaman lain di kawasan hutan menjadikan kopi agroforestri menjadi bisa diterima. Pendekatan bijak Pemerintah untuk merangkul kopi sebagai bagian dari praktik agroforestri di kawasan hutan ini tentu saja disambut hangat oleh para petani kopi tersebut. Kopi kini menjadi sesuatu yang diakui, sesuatu yang dirayakan, sesuatu yang didukung.

Aku masih memiliki catatan manis tentang dukungan terhadap kopi agroforestri ini. Pada 9 Desember 2021, webinar bertemakan “Membuka Peluang Ekspor Kopi Agroforestri” digelar oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Webinar ini serasa menjadi tabuhan baru bagi pengakuan kopi agroforestri Indonesia.

Dirjen PSKL, Bambang Supriyanto, selaku pembicara kunci, ketika itu menyatakan Indonesia merupakan salah satu produsen kopi terbesar di dunia, dan menjadi satu-satunya negara yang menerapkan kopi agroforestri. Mengapa agroforestri? Melalui pola tanam ini, kelestarian hutan terjaga. Selain itu, kesejahteraan masyarakat setempat akan meningkat karena kopi dapat ditanam di ruang kosong di antara tegakan pohon-pohon di kawasan hutan. Kopi agroforestri inilah yang sudah cukup lama dikembangkan oleh petani Perhutanan Sosial di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Aceh, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Tiga narasumber lain dari tingkat tapak pada webinar ini seakan menjadi saksi dari praktik budidaya kopi agroforestri ini. Mereka adalah Neneng Susanti (Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH Kerinci), Hamdani M.R. Laturua (Koordinator Petani Kopi Batabual, Maluku) dan Maria Angelo Igo (Koordinator Kelompok Usaha Perhutanan Sosial atau KUPS Kopi Bajawa, NTT). Semua narasumber ini menampilkan cerita keragaman dan kekhasan kopi agroforestri Perhutanan Sosial, yang memang terbentang luas dari Aceh sampai Papua.

Genderang perayaan kopi agroforestri ke-2 terjadi pada Januari 2022. Gelaran Festival Perhutananan Sosial Nusantara (PeSoNa) ke-4 pada 25-27 Januari 2022 mengangkat tema “Petani, Kopi dan Konservasi”. Festival yang dibuka oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya ini, menampilkan kemajuan program Perhutanan Sosial yang dipimpin oleh para pelaku Perhutanan Sosial di tingkat tapak. Yang menjadi primadona di sini adalah kopi agroforestri, sesuai dengan tema festival tersebut Ajang yang digelat KLHK bersama Media Indonesia dan para pihak lainnya itu diharapkan mampu mempromosikan serta makin mendorong usaha Perhutanan Sosial dari hulu ke hilir. Pendekatan pentahelix juga diajukan untuk memastikan kopi agroforestri bisa memenuhi persyaratan kuantitas, kualitas dan kontinuitas untuk mampu bersaing dengan kopi perkebunan.

Terkini, ada kegiatan bertajuk “Festival Kopi Tanah Air di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada 27-29 Mei 2022. Kembali KLHK, khususnya Ditjen PSKL, berperan penting di sini. Aku yakin, akan ada lagi ajang perayaan serupa untuk kopi Perhutanan Sosial ini.

Pada akhirnya, dukungan nyata dari segi kebijakan dan fasilitasi beberapa hal, seperti promosi kopi, oleh Pemerintah (dalam hal ini KLHK) hendaknya menjadi penambah semangat bagi petani kopi Perhutanan Sosial. Kopi agroforestri kini telah menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Perhutanan Sosial. Harapan masyarakat sejahtera dan hutan lestari, salah satunya melalui kopi agroforestri ini, semoga bisa cepat terwujud. (Penulis;  Anggota TP3PS, Pendiri NARA, KBCF dan Climate Leader).

Sumber : https://tropis.co/

cloud
cloud

Perayaan Kopi Agroforestri di Perhutanan Sosial


blog

Oleh: Swary Utami Dewi

Dalam praktik Perhutanan Sosial, kopi sejak lama menjadi bagian tidak terpisahkan di berbagai tempat di Indonesia. Namun seringkali, yang tertanam di benak banyak orang, kopi hanyalah hasil sektor perkebunan semata. Kenyataannya, kopi agroforestri dari kawasan hutan negara juga memegang peranan penting dan berkontribusi pada perkopian Indonesia dan dunia.

Untuk memahami semua ini, ada baiknya kita menengok sekilas sejarah kopi di Indonesia. Dari beberapa literatur diketahui bahwa sejarah budidaya kopi di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-17. Situs nescafe.com menuliskan, tepatnya pada 1696, perusahaan dagang Belanda-lah, VOC (Verininging Oogst Indies Company), membawa bibit kopi jenis Arabika dari Malabar, India, untuk ditanam di Kedawung, tidak jauh dari Batavia. Penanaman itu gagal karena faktor bencana dan cuaca.

Tiga tahun kemudian, VOC membawa kembali batang kopi hasil stek, masih dari Malabar. Kali ini bibit kopi ditanam di Batavia dan berhasil tumbuh. Pada tahun 1706, biji kopi hasil tanaman pertama ini menjadi populer, bahkan kemudian menjadi komoditi ekspor VOC ke Eropa. VOC lalu memutuskan untuk menanam kopi di berbagai tempat di Indonesia. Hingga kini, keturunan kopi tersebut, dengan berbagai jenis dan variasinya, ditemui di berbagai tempat, termasuk di kawasan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Beberapa pegiat Perhutanan Sosial menulis, memang ada suatu masa di mana tanaman kopi di kawasan hutan negara menjadi sesuatu yang tabu, jika bukan dikatakan terlarang. Ia ada, tapi dinilai tidak tepat di situ. Kopi di kawasan hutan pada suatu masa pernah ditolak. Petani kopi, yang sudah cukup lama mengelola kawasan hutan, harus “mencuri-curi” masuk kawasan untuk melakukan budidaya.

Seiring berjalannya waktu, kebijakan menunjukkan keberpihakan pada kopi di kawasan hutan negara. Fenomena kopi memang tidak mungkin dihindari. Nilai ekonomi, budaya dan kenyataan bahwa kopi bisa tumbuh manis berdampingan dengan berbagai pohon dan tanaman lain di kawasan hutan menjadikan kopi agroforestri menjadi bisa diterima. Pendekatan bijak Pemerintah untuk merangkul kopi sebagai bagian dari praktik agroforestri di kawasan hutan ini tentu saja disambut hangat oleh para petani kopi tersebut. Kopi kini menjadi sesuatu yang diakui, sesuatu yang dirayakan, sesuatu yang didukung.

Aku masih memiliki catatan manis tentang dukungan terhadap kopi agroforestri ini. Pada 9 Desember 2021, webinar bertemakan “Membuka Peluang Ekspor Kopi Agroforestri” digelar oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Webinar ini serasa menjadi tabuhan baru bagi pengakuan kopi agroforestri Indonesia.

Dirjen PSKL, Bambang Supriyanto, selaku pembicara kunci, ketika itu menyatakan Indonesia merupakan salah satu produsen kopi terbesar di dunia, dan menjadi satu-satunya negara yang menerapkan kopi agroforestri. Mengapa agroforestri? Melalui pola tanam ini, kelestarian hutan terjaga. Selain itu, kesejahteraan masyarakat setempat akan meningkat karena kopi dapat ditanam di ruang kosong di antara tegakan pohon-pohon di kawasan hutan. Kopi agroforestri inilah yang sudah cukup lama dikembangkan oleh petani Perhutanan Sosial di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Aceh, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Tiga narasumber lain dari tingkat tapak pada webinar ini seakan menjadi saksi dari praktik budidaya kopi agroforestri ini. Mereka adalah Neneng Susanti (Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH Kerinci), Hamdani M.R. Laturua (Koordinator Petani Kopi Batabual, Maluku) dan Maria Angelo Igo (Koordinator Kelompok Usaha Perhutanan Sosial atau KUPS Kopi Bajawa, NTT). Semua narasumber ini menampilkan cerita keragaman dan kekhasan kopi agroforestri Perhutanan Sosial, yang memang terbentang luas dari Aceh sampai Papua.

Genderang perayaan kopi agroforestri ke-2 terjadi pada Januari 2022. Gelaran Festival Perhutananan Sosial Nusantara (PeSoNa) ke-4 pada 25-27 Januari 2022 mengangkat tema “Petani, Kopi dan Konservasi”. Festival yang dibuka oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya ini, menampilkan kemajuan program Perhutanan Sosial yang dipimpin oleh para pelaku Perhutanan Sosial di tingkat tapak. Yang menjadi primadona di sini adalah kopi agroforestri, sesuai dengan tema festival tersebut Ajang yang digelat KLHK bersama Media Indonesia dan para pihak lainnya itu diharapkan mampu mempromosikan serta makin mendorong usaha Perhutanan Sosial dari hulu ke hilir. Pendekatan pentahelix juga diajukan untuk memastikan kopi agroforestri bisa memenuhi persyaratan kuantitas, kualitas dan kontinuitas untuk mampu bersaing dengan kopi perkebunan.

Terkini, ada kegiatan bertajuk “Festival Kopi Tanah Air di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada 27-29 Mei 2022. Kembali KLHK, khususnya Ditjen PSKL, berperan penting di sini. Aku yakin, akan ada lagi ajang perayaan serupa untuk kopi Perhutanan Sosial ini.

Pada akhirnya, dukungan nyata dari segi kebijakan dan fasilitasi beberapa hal, seperti promosi kopi, oleh Pemerintah (dalam hal ini KLHK) hendaknya menjadi penambah semangat bagi petani kopi Perhutanan Sosial. Kopi agroforestri kini telah menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Perhutanan Sosial. Harapan masyarakat sejahtera dan hutan lestari, salah satunya melalui kopi agroforestri ini, semoga bisa cepat terwujud. (Penulis;  Anggota TP3PS, Pendiri NARA, KBCF dan Climate Leader).

Sumber : https://tropis.co/

0   0
Bagikan :

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini