Indonesia kaya tanaman sumber bahan bakar nabati, tak hanya sawit. Budi Leksono, dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (Litbang BPTH), salah satu sosok yang konsern menggeluti penelitian tanaman sebagai sumber bahan bakar nabati ini, antara lain lewat jarak, nyamplung dan malapari.

Sejak 1994, Budi Leksono menjadi peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta. Saat itu, dia meneliti pemuliaan tanaman hutan penghasil kayu. Ketika masa isu krisis energi sekitar awal 2.000-an, Budi mulai meneliti tanaman sumber bahan bakar nabati, seperti jarak, kemudian lanjut ke nyamplung.

Tanaman nyamplung ini kaya manfaat. Tak hanya sebagai sumber bahan bakar nabati tetapi juga bahan baku kosmetik dan lain-lain. Ia juga bisa jadi tanaman konservasi dan bisa tumbuh dengan baik di lahan gambut karena sifat tanaman toleransi terhadap air.

Kini, Budi Leksono sedang meneliti malapari (Pongamia pinnata), tanaman yang potensial sebagai sumber bahan bakar nabati. Tanaman dari Asia Selatan ini tersebar dari Sumatera hingga Papua. Sederet keunggulan dimiliki tanaman ini.

___________________________________________________________________________________________________________________________

Bicara nyamplung (Calophyllum inophyllum), sebagai bahan bakar nabati membawa ingatan Budi Leksono kembali pada masa kecil saat tinggal di kota kelahirannya, Pekalongan, Jawa Tengah. Buah nyamplung jadi salah satu mainan kala itu. Bentuk bulat, kulit keras. Ukuran lebih besar dari kelereng, dan lebih kecil dibanding bola pingpong.

Budi Leksono adalah peneliti utama di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (Litbang BPTH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kantor balai ini di Yogyakarta.

“Waktu kecil di Pekalongan, di depan rumah saya itu ada pohon nyamplung tinggalan Belanda. Dari Anyer sampai Panarukan di pinggir jalan kan dulu ditanami pohon asam dan nyamplung,” katanya.

Nyamplung ternyata memiliki banyak manfaat, salah satu sebagai sumber energi nabati (biofuel). Saat membangun atau memperbaiki jalan, aspal dipanaskan di tempat. Kayu nyamplung jadi kayu bakarnya.

“Karena pohonnya banyak getah, kalau ada perbaikan jalan, pekerja selalu ngambil kayu dari pohon nyamplung itu. Basahpun dibakar bisa karena ada minyaknya. Sejak kecil saya sudah mengenal nyamplung. Jadi waktu mau meneliti, rasanya familiar sekali,” katanya.

Manfaat tanaman nyamplung sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Menurut Budi, ada kisah bagaimana raja memerintahkan rakyat untuk membawa obor dari biji nyamplung saat pertemuan di lapangan.

Kumpulkan nyamplung

Botol-botol berisi cairan berwarna kuning keemasan itu dia letakkan di sebuah lemari kaca di laboratorium Bioteknologi Balai Besar Litbang BPTH. Cairan itu adalah biofuel dari nyamplung.

Budi bilang, selalu ada tamu yang ingin melihat minyak nyamplung ini dicobakan pada kendaraan.

Budi diangkat menjadi pegawai negeri pada 1988 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Setelah beberapa kali pindah kantor di KLHK, akhirnya pada 1994, dia menjadi peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Saat itu, Budi meneliti pemuliaan tanaman hutan penghasil kayu dari jenis-jenis yang cepat tumbuh seperti akasia, ekaliptus, ataupun sengon.

Sekembalinya dari Jepang usai menamatkan kuliah program doktoral, Budi tidak langsung kembali ke Balai Besar Litbang BPTH.

“Pulang dari S3 saya ditarik ke pusat. Saya pikir dulu mau dipromosikan ke struktural, saya tidak berminat ke struktural karena passion saya meneliti. Hanya setahun, saya kembali menekuni dunia penelitian,” katanya baru-baru ini.

Budi cerita, saat itu ada disposisi dari Menteri Kehutanan untuk penelitian tanaman yang bisa jadi sumber bahan bakar nabati. Isu krisis energi sedang naik daun kala itu.

Tanaman jarak lebih dulu dikenal sebagai sumber bahan bakar nabati dan banyak diteliti sebagai biodiesel.

“Kita temukan yang potensial selain jarak adalah nyamplung. Dari sini kemudian terus kita kaji. Sifatnya mirip jarak. Hingga proses pembuatan biodiesel dari nyamplung mengikuti jarak.”

Sayangnya, hingga kini penelitian nyamplung di Indonesia terbatas meski mulai ada beberapa peneliti yang tertarik mendalami. Terbanyak, penelitian nyamplung untuk bahan kosmetik. Pada 2013, dia menemukan nyamplung mengandung kadar kumarin tinggi. Temuan itu lantas dia presentasikan di Amerika dalam kesempatan pertemuan peneliti kehutanan sedunia.

Untuk menemukan varietas unggul nyamplung Indonesia Budi pun berkeliling dari pulau ke pulau. Di Dompu, Nusa Tenggara Barat, dia menemukan pohon nyamplung berusia lebih dari satu abad. Tumbuh tinggi di hutan alam.

Di Jawa, Budi menemukan pohon nyamplung di hutan alam Alas Purwo di Banyuwangi, Carita, dan Ujung Kulon.

Nyamplung yang tumbuh di taman nasional, kemungkinan ada sejak zaman Belanda. Yang di luar taman nasional belum diperoleh kepastian karena tidak ada catatan dan masyarakat mengatakan tak ada yang menanam.

“Tapi kalau kita lihat dengan analisis DNA, kita lacak, kecenderungan mendekat ke hutan alam tadi. Kemungkinan moyangnya dari sana.”

Seperti tanaman nyamplung di Gunungkidul diperkirakan berusia 60 tahun. Keberadaannya menjadi bukti nyamplung bisa tumbuh di lahan berkapur, meski tidak terlalu besar, namun masih bisa berbuah.

“Setelah kita lacak dengan analisis DNA ternyata berasal dari Ciamis. Rendemennya pun tertinggi di Jawa.”

Di Purworejo, dia menemukan nyamplung lebih muda. Di sana, nyamplung dipakai untuk windbreak. Selain itu, di Purworejo pernah dibangun industri biodiesel berbasis nyamplung. Setelah dilacak, ternyata secara genetis dekat dengan nyamplung dari Gunungkidul dan Ciamis.

“Semua ini menginduk ke taman nasional yang masih terjaga itu. Kalau yang di Carita sudah terfragmentasi. Ujung Kulon belum kita libatkan saat itu. Kondisinya seperti Alas Purwo. Yang Cilacap juga kemungkinan dari sana.”

Alas Purwo adalah hutan alam tertua di Jawa. Ekosistem hutan hujan tropis, terdiri dari padang rumput, hutan alam, bambu, bakau, hingga pantai. Sekitar 600 jenis tumbuhan ada di sana dan didiami aneka satwa mamalia, aves, pisces, dan reptil.

“Dari seluruh Indonesia juga kita lacak. Ternyata (secara genetis) berjauhan. Kita belum hubungkan dengan yang berasal dari luar negeri karena belum dapat materinya. Akhirnya saya tekuni semua. Eksplorasi ke seluruh Indonesia untuk mengetahui potensi rendemen dari berbagai daerah. Ada delapan pulau kita amati,” kata peneliti kelahiran 1963 ini.

Hasilnya, rendemen tertinggi untuk nyamplung di Jawa berasal dari Gunungkidul. Secara keseluruhan, nyamplung dari Pulau Jawa rata-rata rendemen 34-50%. Masih lebih rendah jika dibandingkan rendemen nyamplung dari luar Jawa.

“Rata-rata [di luar Jawa] di atas 50%. Di alam kondisi masih utuh, besar, raksasa, buah penuh. Satu pohon bisa 1,5 kuintal per tahun. Peak season dua kali, Februari Maret dan Juli, September.”

Salah satu kelemahan nyamplung sekaligus kelebihannya adalah, buah ini memiliki banyak resin. Jadi minyak mentah berwarna gelap. Di resin itulah mengandung kumarin, yang berharga sangat mahal.

“Bisnis nyamplung ini kalau dikaji seperti piramida. Di atas itu mahal sekali, pasar terbatas. Kalau untuk energi paling bawah, mintanya kan di bawah Rp10.000. Untuk obat, ndeplok saja, untuk minyak bisa Rp250.000-Rp350.000 per liter. Mitra-mitra kami sudah ekspor untuk kosmetik, obat.”

Tanaman konservasi

Budi juga mengajak melihat kebun koleksi tanaman nyamplung dari berbagai penjuru Indonesia yang menjadi koleksi balai besar ini. Lokasi di belakang kantor, di Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

Di kebun koleksi, nyamplung dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Nusa Tenggara Barat, dan Papua itu tumbuh subur. Padahal, kata Budi, tanahnya kerap tergenang air dan relatif kurang subur.

Pengalaman dengan kebun di Wonogiri, area yang ditanami nyamplung juga tergenang air. Ternyata tanaman mampu tumbuh bagus. Nyamplung toleran terhadap air.

“Kalau tanaman lain nggak bisa. Maka kita berani ke gambut. Ternyata bisa tumbuh bagus juga di gambut. Dari empat jenis pengujian tanaman energi, hanya nyamplung yang bisa tumbuh paling banyak. Yang lain mati, biasa busuk.”

Saat ini, gangguan serius dari hama atau satwa terhadap tanaman ini belum ada. Ancaman datang dari rayap dan jamur.

Di kebun koleksi nyamplung dari berbagai daerah tumbuh subur. Ia ditanam pada 2011, kini tinggi rata-rata sekitar lima meter. Meski buah jarang terlihat karena sudah melewati puncak musim, namun bunga-bunga baru tampak di pucuk-pucuk dahan.

“Kalau tanaman lain berbuah setahun sekali. Ini berbuah terus. Satu pohon ada bunga, buah muda, tua. Tidak usah dirawat bisa tumbuh bagus,” ujar ayah tiga anak ini.

Saat pengujian di Kalimantan Timur, nyamplung varietas unggul mulai berbuah pada usia dua tahun. Varietas biasa bisa 7-9 tahun. Di Kalimantan Tengah, nyamplung dikembangkan di lahan gambut dan bisa tumbuh.

Menurut Budi, dia sengaja mencari tempat yang tidak subur, tandus, atau tergenang untuk ditanami nyamplung. Dengan melihat banyak daun muda bisa diketahui kalau tanaman mampu tumbuh bagus.

“Ini mulai banyak permintaan tanam. Kemarin saya baru pulang dari Kalimantan Selatan, perusahaan tambang tertarik juga untuk reklamasi. Kemarin sudah mencoba bibit beberapa. Dari Bangka yang bekas tambang timah juga pingin nyoba.”

Di tempat pembibitan Budi memperlihatkan ratusan nyamplung siap dikembangkan sebagai calon tanaman sumber bahan bakar nabati. Perbanyakan secara vegetatif sambung pucuk.

“Kita sudah mulai dengan kultur jaringan. Saat mau tanam tidak pakai biji. Biji untuk produksi minyak. Jadi, vegetasi sudah dipikirkan, kultur jaringan juga sudah kita coba.”

Politik energi

Saat ini, sawit menjadi andalan sumber bahan bakar nabati, terutama sebagai komponen B30, yaitu bauran 30% biodiesel dengan 70% solar.

Bergantung hanya dari satu sumber dengan biodiesel sawit saja tak cukup. Terlebih ada banyak isu menyertai sawit mulai masalah lingkungan, kesejahteraan petani, legalitas, hingga hak asasi manusia sampai ‘rebutan’ antara sawit sebagai sumber pangan dan energi.

“Kita harus memikirkan non-edible seed. Non-edible oil. Sawit edible oil. Saat ini yang paling siap. Ke depan tidak tahu isunya seperti apa. Tekanan dari isu global bisa juga edible tidak boleh untuk bahan bakar, misal. Maka sawit bakal terkena,” katanya.

Budi biasa diundang Bappenas dan dimintai saran soal peta jalan (roadmap) biofuel sampai 2030. Dia bilang, strategi pengembangan biofuel ada empat tahapan. Generasi pertama, gunakan seed oil atau edible seed, atau dari pangan. Bahan paling siap adalah sawit.

“Kita harus mempersiapkan generasi kedua, non-edible oil. Hingga tidak bertarik kepentingan dengan pangan.”

Generasi ketiga dan keempat yakni mikroalga. Generasi inilah, katanya, yang mulai dikaji namun masih mahal.

Meski sangat kecil, mikroalga punya potensi minyak sangat tinggi tetapi perlu teknologi tinggi dengan biaya besar hingga saat ini belum siap loncat ke tahap ini.

Agar petani tertarik menanam nyamplung— sebelum ada kebijakan nasional— Budi menyarankan, mendorong petani memenuhi kebutuhan pasar yang ada. Bukan berarti tidak bisa untuk energi tetapi hanya strategi pasar.

Saat bahan bakar fosil makin menipis, saat itulah mau tidak mau harus beralih ke bahan bakar nabati.

Dari hitungan Budi, kandungan minyak dari biji nyamplung sekitar 1/8 buah basah. Kalau per hektar berpotensi hasilkan 20 ton per tahun, akan dihasilkan minyak sekitar tiga ton.

Malapari  

Penelitian Budi tidak berhenti hanya di nyamplung. Kini, dia juga meneliti malapari (Pongamia pinnata), tanaman yang potensial sebagai bahan baku nabati. Tanaman dari Asia Selatan ini tersebar dari Sumatera hingga Papua. Sederet keunggulan dimiliki tanaman ini.

“Dibanding nyamplung yang potensial tumbuh di ketinggian 0-300 dpl, malapari bisa lebih tinggi lagi, bisa sampai 1.200 dpl. Malapari ini juga jenis legum. Salah satu keunggulan legum itu mengikat nitrogen dari udara. Tidak perlu banyak pupuk.”

Pohon nyamplung dan malapari sama-sama memiliki toleransi terhadap lahan kritis hingga cocok untuk tanaman konservasi. Bedanya, malapari tahan air garam hingga bisa tumbuh di dekat pantai. Malapari juga bisa dimakan, racun dihilangkan dengan dipanaskan.

Penelitian dia tentang malapari dilirik sebuah perusahaan di California, Amerika Serikat. Mereka mengajak kerja sama mengembangkan tanaman ini guna memenuhi permintaan bahan baku buah malapari.

“Sebuah perusahaan di California mengundang kita untuk mengembangkan malapari untuk produksi di California. Kata saya, kalau bisa untuk Indonesia dululah. Mereka ngerti ini hanya hidup di tropis. Malapari untuk burger, lalu susu.”

Dibanding nyamplung, rantai proses untuk membuat biofuel dari malapari juga lebih pendek jadi lebih efisien dan harga produksi bisa ditekan.

“Malapari itu tidak perlu proses degamin dan esterifikasi. Dari proses lebih efisien. Kenapa bisa begitu, karena tidak ada resin. Ini masih kita pelajari, ini menarik sekali. Namun sebagai peneliti, penelitian dua-duanya tetap jalan terus.”

Agar nasib nyamplung dan sumber bahan bakar nabati lain tidak berakhir seperti jarak, Budi menyarankan, perlu pilot project seperti program Desa Mandiri Energi. Hanya, perlu pendampingan hingga masyarakat benar-benar mampu mengelola dan menyelesaikan permasalahan teknis mendasar yang muncul.

Selain itu, tanaman untuk biofuel perlu memiliki manfaat lain hingga ketika pasar belum siap, bisa gunakan untuk kebutuhan lain. Terlebih kalau semua bagian tanaman bisa bermanfaat, termasuk limbah seperti nyamplung, petani pun pasti tertarik menanam dan terserap pasar.

Tak hanya itu, dari hulu hingga hilir harus dikuasai, dan para pakar diberi tanggung jawab jelas sesuai bidang masing-masing. Kalau itu dilakukan, Budi optimis, Indonesia tak kekurangan bahan bakar, bahkan bisa jadi pengekspor, kali ini bukan fosil tetapi berasal dari nabati.

Foto utama:  Budi Leksono membawa contoh buah nymplung dari Gunungkidul dan Yapen. Buah nymplung ini antara lain bermanfaat sebagai bahan baku bahan bakar nabati. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Sumber : https://www.mongabay.co.id

 

cloud
cloud

Budi Leksono, Tekuni Penelitian Tanaman Sumber Bahan Bakar Nabati


blog

Indonesia kaya tanaman sumber bahan bakar nabati, tak hanya sawit. Budi Leksono, dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (Litbang BPTH), salah satu sosok yang konsern menggeluti penelitian tanaman sebagai sumber bahan bakar nabati ini, antara lain lewat jarak, nyamplung dan malapari.

Sejak 1994, Budi Leksono menjadi peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta. Saat itu, dia meneliti pemuliaan tanaman hutan penghasil kayu. Ketika masa isu krisis energi sekitar awal 2.000-an, Budi mulai meneliti tanaman sumber bahan bakar nabati, seperti jarak, kemudian lanjut ke nyamplung.

Tanaman nyamplung ini kaya manfaat. Tak hanya sebagai sumber bahan bakar nabati tetapi juga bahan baku kosmetik dan lain-lain. Ia juga bisa jadi tanaman konservasi dan bisa tumbuh dengan baik di lahan gambut karena sifat tanaman toleransi terhadap air.

Kini, Budi Leksono sedang meneliti malapari (Pongamia pinnata), tanaman yang potensial sebagai sumber bahan bakar nabati. Tanaman dari Asia Selatan ini tersebar dari Sumatera hingga Papua. Sederet keunggulan dimiliki tanaman ini.

___________________________________________________________________________________________________________________________

Bicara nyamplung (Calophyllum inophyllum), sebagai bahan bakar nabati membawa ingatan Budi Leksono kembali pada masa kecil saat tinggal di kota kelahirannya, Pekalongan, Jawa Tengah. Buah nyamplung jadi salah satu mainan kala itu. Bentuk bulat, kulit keras. Ukuran lebih besar dari kelereng, dan lebih kecil dibanding bola pingpong.

Budi Leksono adalah peneliti utama di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (Litbang BPTH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kantor balai ini di Yogyakarta.

“Waktu kecil di Pekalongan, di depan rumah saya itu ada pohon nyamplung tinggalan Belanda. Dari Anyer sampai Panarukan di pinggir jalan kan dulu ditanami pohon asam dan nyamplung,” katanya.

Nyamplung ternyata memiliki banyak manfaat, salah satu sebagai sumber energi nabati (biofuel). Saat membangun atau memperbaiki jalan, aspal dipanaskan di tempat. Kayu nyamplung jadi kayu bakarnya.

“Karena pohonnya banyak getah, kalau ada perbaikan jalan, pekerja selalu ngambil kayu dari pohon nyamplung itu. Basahpun dibakar bisa karena ada minyaknya. Sejak kecil saya sudah mengenal nyamplung. Jadi waktu mau meneliti, rasanya familiar sekali,” katanya.

Manfaat tanaman nyamplung sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Menurut Budi, ada kisah bagaimana raja memerintahkan rakyat untuk membawa obor dari biji nyamplung saat pertemuan di lapangan.

Kumpulkan nyamplung

Botol-botol berisi cairan berwarna kuning keemasan itu dia letakkan di sebuah lemari kaca di laboratorium Bioteknologi Balai Besar Litbang BPTH. Cairan itu adalah biofuel dari nyamplung.

Budi bilang, selalu ada tamu yang ingin melihat minyak nyamplung ini dicobakan pada kendaraan.

Budi diangkat menjadi pegawai negeri pada 1988 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Setelah beberapa kali pindah kantor di KLHK, akhirnya pada 1994, dia menjadi peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Saat itu, Budi meneliti pemuliaan tanaman hutan penghasil kayu dari jenis-jenis yang cepat tumbuh seperti akasia, ekaliptus, ataupun sengon.

Sekembalinya dari Jepang usai menamatkan kuliah program doktoral, Budi tidak langsung kembali ke Balai Besar Litbang BPTH.

“Pulang dari S3 saya ditarik ke pusat. Saya pikir dulu mau dipromosikan ke struktural, saya tidak berminat ke struktural karena passion saya meneliti. Hanya setahun, saya kembali menekuni dunia penelitian,” katanya baru-baru ini.

Budi cerita, saat itu ada disposisi dari Menteri Kehutanan untuk penelitian tanaman yang bisa jadi sumber bahan bakar nabati. Isu krisis energi sedang naik daun kala itu.

Tanaman jarak lebih dulu dikenal sebagai sumber bahan bakar nabati dan banyak diteliti sebagai biodiesel.

“Kita temukan yang potensial selain jarak adalah nyamplung. Dari sini kemudian terus kita kaji. Sifatnya mirip jarak. Hingga proses pembuatan biodiesel dari nyamplung mengikuti jarak.”

Sayangnya, hingga kini penelitian nyamplung di Indonesia terbatas meski mulai ada beberapa peneliti yang tertarik mendalami. Terbanyak, penelitian nyamplung untuk bahan kosmetik. Pada 2013, dia menemukan nyamplung mengandung kadar kumarin tinggi. Temuan itu lantas dia presentasikan di Amerika dalam kesempatan pertemuan peneliti kehutanan sedunia.

Untuk menemukan varietas unggul nyamplung Indonesia Budi pun berkeliling dari pulau ke pulau. Di Dompu, Nusa Tenggara Barat, dia menemukan pohon nyamplung berusia lebih dari satu abad. Tumbuh tinggi di hutan alam.

Di Jawa, Budi menemukan pohon nyamplung di hutan alam Alas Purwo di Banyuwangi, Carita, dan Ujung Kulon.

Nyamplung yang tumbuh di taman nasional, kemungkinan ada sejak zaman Belanda. Yang di luar taman nasional belum diperoleh kepastian karena tidak ada catatan dan masyarakat mengatakan tak ada yang menanam.

“Tapi kalau kita lihat dengan analisis DNA, kita lacak, kecenderungan mendekat ke hutan alam tadi. Kemungkinan moyangnya dari sana.”

Seperti tanaman nyamplung di Gunungkidul diperkirakan berusia 60 tahun. Keberadaannya menjadi bukti nyamplung bisa tumbuh di lahan berkapur, meski tidak terlalu besar, namun masih bisa berbuah.

“Setelah kita lacak dengan analisis DNA ternyata berasal dari Ciamis. Rendemennya pun tertinggi di Jawa.”

Di Purworejo, dia menemukan nyamplung lebih muda. Di sana, nyamplung dipakai untuk windbreak. Selain itu, di Purworejo pernah dibangun industri biodiesel berbasis nyamplung. Setelah dilacak, ternyata secara genetis dekat dengan nyamplung dari Gunungkidul dan Ciamis.

“Semua ini menginduk ke taman nasional yang masih terjaga itu. Kalau yang di Carita sudah terfragmentasi. Ujung Kulon belum kita libatkan saat itu. Kondisinya seperti Alas Purwo. Yang Cilacap juga kemungkinan dari sana.”

Alas Purwo adalah hutan alam tertua di Jawa. Ekosistem hutan hujan tropis, terdiri dari padang rumput, hutan alam, bambu, bakau, hingga pantai. Sekitar 600 jenis tumbuhan ada di sana dan didiami aneka satwa mamalia, aves, pisces, dan reptil.

“Dari seluruh Indonesia juga kita lacak. Ternyata (secara genetis) berjauhan. Kita belum hubungkan dengan yang berasal dari luar negeri karena belum dapat materinya. Akhirnya saya tekuni semua. Eksplorasi ke seluruh Indonesia untuk mengetahui potensi rendemen dari berbagai daerah. Ada delapan pulau kita amati,” kata peneliti kelahiran 1963 ini.

Hasilnya, rendemen tertinggi untuk nyamplung di Jawa berasal dari Gunungkidul. Secara keseluruhan, nyamplung dari Pulau Jawa rata-rata rendemen 34-50%. Masih lebih rendah jika dibandingkan rendemen nyamplung dari luar Jawa.

“Rata-rata [di luar Jawa] di atas 50%. Di alam kondisi masih utuh, besar, raksasa, buah penuh. Satu pohon bisa 1,5 kuintal per tahun. Peak season dua kali, Februari Maret dan Juli, September.”

Salah satu kelemahan nyamplung sekaligus kelebihannya adalah, buah ini memiliki banyak resin. Jadi minyak mentah berwarna gelap. Di resin itulah mengandung kumarin, yang berharga sangat mahal.

“Bisnis nyamplung ini kalau dikaji seperti piramida. Di atas itu mahal sekali, pasar terbatas. Kalau untuk energi paling bawah, mintanya kan di bawah Rp10.000. Untuk obat, ndeplok saja, untuk minyak bisa Rp250.000-Rp350.000 per liter. Mitra-mitra kami sudah ekspor untuk kosmetik, obat.”

Tanaman konservasi

Budi juga mengajak melihat kebun koleksi tanaman nyamplung dari berbagai penjuru Indonesia yang menjadi koleksi balai besar ini. Lokasi di belakang kantor, di Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

Di kebun koleksi, nyamplung dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Nusa Tenggara Barat, dan Papua itu tumbuh subur. Padahal, kata Budi, tanahnya kerap tergenang air dan relatif kurang subur.

Pengalaman dengan kebun di Wonogiri, area yang ditanami nyamplung juga tergenang air. Ternyata tanaman mampu tumbuh bagus. Nyamplung toleran terhadap air.

“Kalau tanaman lain nggak bisa. Maka kita berani ke gambut. Ternyata bisa tumbuh bagus juga di gambut. Dari empat jenis pengujian tanaman energi, hanya nyamplung yang bisa tumbuh paling banyak. Yang lain mati, biasa busuk.”

Saat ini, gangguan serius dari hama atau satwa terhadap tanaman ini belum ada. Ancaman datang dari rayap dan jamur.

Di kebun koleksi nyamplung dari berbagai daerah tumbuh subur. Ia ditanam pada 2011, kini tinggi rata-rata sekitar lima meter. Meski buah jarang terlihat karena sudah melewati puncak musim, namun bunga-bunga baru tampak di pucuk-pucuk dahan.

“Kalau tanaman lain berbuah setahun sekali. Ini berbuah terus. Satu pohon ada bunga, buah muda, tua. Tidak usah dirawat bisa tumbuh bagus,” ujar ayah tiga anak ini.

Saat pengujian di Kalimantan Timur, nyamplung varietas unggul mulai berbuah pada usia dua tahun. Varietas biasa bisa 7-9 tahun. Di Kalimantan Tengah, nyamplung dikembangkan di lahan gambut dan bisa tumbuh.

Menurut Budi, dia sengaja mencari tempat yang tidak subur, tandus, atau tergenang untuk ditanami nyamplung. Dengan melihat banyak daun muda bisa diketahui kalau tanaman mampu tumbuh bagus.

“Ini mulai banyak permintaan tanam. Kemarin saya baru pulang dari Kalimantan Selatan, perusahaan tambang tertarik juga untuk reklamasi. Kemarin sudah mencoba bibit beberapa. Dari Bangka yang bekas tambang timah juga pingin nyoba.”

Di tempat pembibitan Budi memperlihatkan ratusan nyamplung siap dikembangkan sebagai calon tanaman sumber bahan bakar nabati. Perbanyakan secara vegetatif sambung pucuk.

“Kita sudah mulai dengan kultur jaringan. Saat mau tanam tidak pakai biji. Biji untuk produksi minyak. Jadi, vegetasi sudah dipikirkan, kultur jaringan juga sudah kita coba.”

Politik energi

Saat ini, sawit menjadi andalan sumber bahan bakar nabati, terutama sebagai komponen B30, yaitu bauran 30% biodiesel dengan 70% solar.

Bergantung hanya dari satu sumber dengan biodiesel sawit saja tak cukup. Terlebih ada banyak isu menyertai sawit mulai masalah lingkungan, kesejahteraan petani, legalitas, hingga hak asasi manusia sampai ‘rebutan’ antara sawit sebagai sumber pangan dan energi.

“Kita harus memikirkan non-edible seed. Non-edible oil. Sawit edible oil. Saat ini yang paling siap. Ke depan tidak tahu isunya seperti apa. Tekanan dari isu global bisa juga edible tidak boleh untuk bahan bakar, misal. Maka sawit bakal terkena,” katanya.

Budi biasa diundang Bappenas dan dimintai saran soal peta jalan (roadmap) biofuel sampai 2030. Dia bilang, strategi pengembangan biofuel ada empat tahapan. Generasi pertama, gunakan seed oil atau edible seed, atau dari pangan. Bahan paling siap adalah sawit.

“Kita harus mempersiapkan generasi kedua, non-edible oil. Hingga tidak bertarik kepentingan dengan pangan.”

Generasi ketiga dan keempat yakni mikroalga. Generasi inilah, katanya, yang mulai dikaji namun masih mahal.

Meski sangat kecil, mikroalga punya potensi minyak sangat tinggi tetapi perlu teknologi tinggi dengan biaya besar hingga saat ini belum siap loncat ke tahap ini.

Agar petani tertarik menanam nyamplung— sebelum ada kebijakan nasional— Budi menyarankan, mendorong petani memenuhi kebutuhan pasar yang ada. Bukan berarti tidak bisa untuk energi tetapi hanya strategi pasar.

Saat bahan bakar fosil makin menipis, saat itulah mau tidak mau harus beralih ke bahan bakar nabati.

Dari hitungan Budi, kandungan minyak dari biji nyamplung sekitar 1/8 buah basah. Kalau per hektar berpotensi hasilkan 20 ton per tahun, akan dihasilkan minyak sekitar tiga ton.

Malapari  

Penelitian Budi tidak berhenti hanya di nyamplung. Kini, dia juga meneliti malapari (Pongamia pinnata), tanaman yang potensial sebagai bahan baku nabati. Tanaman dari Asia Selatan ini tersebar dari Sumatera hingga Papua. Sederet keunggulan dimiliki tanaman ini.

“Dibanding nyamplung yang potensial tumbuh di ketinggian 0-300 dpl, malapari bisa lebih tinggi lagi, bisa sampai 1.200 dpl. Malapari ini juga jenis legum. Salah satu keunggulan legum itu mengikat nitrogen dari udara. Tidak perlu banyak pupuk.”

Pohon nyamplung dan malapari sama-sama memiliki toleransi terhadap lahan kritis hingga cocok untuk tanaman konservasi. Bedanya, malapari tahan air garam hingga bisa tumbuh di dekat pantai. Malapari juga bisa dimakan, racun dihilangkan dengan dipanaskan.

Penelitian dia tentang malapari dilirik sebuah perusahaan di California, Amerika Serikat. Mereka mengajak kerja sama mengembangkan tanaman ini guna memenuhi permintaan bahan baku buah malapari.

“Sebuah perusahaan di California mengundang kita untuk mengembangkan malapari untuk produksi di California. Kata saya, kalau bisa untuk Indonesia dululah. Mereka ngerti ini hanya hidup di tropis. Malapari untuk burger, lalu susu.”

Dibanding nyamplung, rantai proses untuk membuat biofuel dari malapari juga lebih pendek jadi lebih efisien dan harga produksi bisa ditekan.

“Malapari itu tidak perlu proses degamin dan esterifikasi. Dari proses lebih efisien. Kenapa bisa begitu, karena tidak ada resin. Ini masih kita pelajari, ini menarik sekali. Namun sebagai peneliti, penelitian dua-duanya tetap jalan terus.”

Agar nasib nyamplung dan sumber bahan bakar nabati lain tidak berakhir seperti jarak, Budi menyarankan, perlu pilot project seperti program Desa Mandiri Energi. Hanya, perlu pendampingan hingga masyarakat benar-benar mampu mengelola dan menyelesaikan permasalahan teknis mendasar yang muncul.

Selain itu, tanaman untuk biofuel perlu memiliki manfaat lain hingga ketika pasar belum siap, bisa gunakan untuk kebutuhan lain. Terlebih kalau semua bagian tanaman bisa bermanfaat, termasuk limbah seperti nyamplung, petani pun pasti tertarik menanam dan terserap pasar.

Tak hanya itu, dari hulu hingga hilir harus dikuasai, dan para pakar diberi tanggung jawab jelas sesuai bidang masing-masing. Kalau itu dilakukan, Budi optimis, Indonesia tak kekurangan bahan bakar, bahkan bisa jadi pengekspor, kali ini bukan fosil tetapi berasal dari nabati.

Foto utama:  Budi Leksono membawa contoh buah nymplung dari Gunungkidul dan Yapen. Buah nymplung ini antara lain bermanfaat sebagai bahan baku bahan bakar nabati. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Sumber : https://www.mongabay.co.id

 

1   0
Bagikan :

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini