Oleh: Swary Utami Dewi
Tawa gelak dan tingkah laku polos petani mewarnai acara penutupan dua pelatihan yang berlokasi di Resort Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tanah Laut, Kalimantan Selatan, pada 6 November 2021 lalu. Aku bersama beberapa kawan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) duduk di terpal yang dibentangkan di atas batu kerikil kecil di halaman resort tersebut. Suasana siang jelang sore saat itu terasa sejuk. Aku hadir bersama Plh. Kepala Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia (Pusdik SDM) KLHK, Puji Iswari, beserta Erfan Noor Yulian dan Pratikna. Juga turut hadir Kepala KPH Tanah Laut, Rahmad Ardiansyah.
Ada dua pelatihan yang digelar secara bersamaan oleh KPH Tanah Laut, sebagai salah satu bentuk dukungan dari Forest Investment Program (FIP) ke-2. Pelatihan tersebut adalah pertama, peningkatan kapasitas kelompok tani hutan (KTH) dan kelompok perhutanan sosial (KPS) dalam pengelolaan usaha. Kedua, pelatihan pembuatan pupuk bokashi (kompos). Dua pelatihan ini terselenggara berkat kerjasama KPH Tanah Laut dengan Pusdik SDM KLHK beserta Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BD LHK) Samarinda.
Puji, yang memandu acara penutupan, memberikan kesempatan kepada beberapa yang hadir, termasuk diriku, umtuk memberikan penguatan dan semangat kepada 60 peserta pelatihan. Aku khusus menyoroti semangat para peserta dan kemampuan mereka dalam memberikan contoh-contoh lokal yang sudah mereka lakukan maupun rencanakan dalam konteks pengembangan usaha. Ada seorang peserta, Rafiq Rahman, dari KTH Sumber Rejeki di Desa Riam Adungan, yang mengisahkan upaya kelompoknya mengembangkan kopi liberika pada ketinggian antara 300 – 500 meter di atas permukaan laut. Ada pula petani lain, Kosim Zailani, dari KTH Karya Jaya, yang telah mencoba menyambungkan bibit tepaken (buah endemik mirip durian) dengan montong (durian khas Thailand), yang menghasilkan buah durian jenis campuran yang lebih manis dari tepaken dan memiliki tekstur seperti montong. Kosim, yang berusia paruh baya ini, juga memiliki rencana untuk menyambungkan bibit lamtoro dengan petai. Tidak ketinggalan beberapa perempuan petani yang memberikan cerita singkat tentang apa yang sedang dan akan dilakukan kelompoknya, misalnya ada rencana memanfaatkan mata air di suatu desa sebagai air mineral isi ulang.
Aku menghubungkan apa yang diceritakan oleh peserta pelatihan ini dalam konteks tiga kelola, pasca kelompok-kelompok tani dan masyarakat mendapatkan persetujuan Perhutanan Sosial. Tiga pilar tersebut adalah kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha. Kelola kawasan berarti ada rencana untuk mengelola kawasan secara lestari, untuk mengetahui potensi yang bisa dikembangkan, apa yang harus dilindungi dan bagaimana caranya, bagaimana mengelola persil antar petani dan sebagainya. Kelola kelembagaan berarti menguatkan dan mengembangkan kelompok masing-masing petani/masyarakat dengan berbagai hal, misalnya melengkapi kepengurusan, membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang sesuai dengan potensi dan kemampuan, melengkapi organisasi dengan seperangkat aturan dan prosedur yang diperlukan, juga melakukan berbagai pengembangan kapasitas dan ketrampilan. Lalu terakhir, kelola usaha, misalnya membuat rencana usaha jangka panjang dan rencana tahunan, mencari pasar, melihat peluang diversifikasi, mencari dukungan permodalan dan sebagainya. Ketiga pilar kelola ini saling menyangga dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Bahkan mungkin saling beririsan.
Kunjungan dua hari di salah satu KPH penerima dukungan FIP ke-2 ini, yang diakhiri dialog santai namun bermakna di antara petani dengan pendamping dan pendukungnya, menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, dukungan FIP ke-2 di KPH Tanah Laut nampak sejalan dengan kebutuhan petani. Peningkatan kapasitas adalah salah satunya. Ada beberapa kebutuhan lanjutan lain yang bisa jadi urgen bagi pengembangan kelompok, misalnya diversifikasi produk dan peluang pasar, peningkatan mutu dan sertifikasi terkait seperti halal. Kedua, karena FIP ke-2 segera berakhir, ada baiknya exit strategy perlu segera disusun dan sebaiknya melibatkan para pihak terkait, utamanya petani. Ketiga, pengelolaan pengetahuan dalam berbagai bentuk seperti menyaring dan mengemas berbagai pembelajaran dari tingkat tapak perlu ditingkatkan. Kemampuan yang diperlihatkan KPH Tanah Laut dalam mengelola pengetahuan dalam beberapa hal, bisa menjadi bagian dari penyusunan exit strategy pasca berakhirnya program ini.
* Swary Utami Dewi adalah anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial TP2PS.
Sumber : https://hijauku.com