Oleh: Swary Utami Dewi *

Tanggal 14 Desember 2021 aku bersama Bu Puji Iswari (Pelaksana Harian Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Pak Edi Cahyono (Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH Lakitan Bukit Cogong) mengunjungi Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Manunggal.

KTH ini merupakan dampingan KPH Lakitan Bukit Cogong, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. KTH Wana Manunggal telah mengantongi persetujuan Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak 2015. Unggulan utamanya adalah ekowisata dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berbasis agroforestri. Durian dan jengkol misalnya menjadi andalan HHBK di sini. Juga karet, rotan, madu dan berbagai jenis HHBK lainnya. HKm Wana Manunggal juga telah memberikan sumbangsih air bersih yang disalurkan melalui pipa kepada masyarakat desa setempat di luar anggota HKm.

Meski kunjungan wisatawan ke lokasi ekowisata turun drastis karena pandemi, ketahanan pangan mereka tetap terjaga dari kebun sekitar yang dikelola di areal penggunaan lain (APL) maupun dari HHBK di kawasan HKm tersebut

Di Bukit Cogong, masyarakat dan petani hutan memang tinggal di APL yang berbatasan langsung dengan hutan lindung yang dikelola masyarakat secara lestari. Ada beberapa keluarga yang sesekali mendatangi kawasan kelolanya di hutan lindung, terutama saat musim panen buah tiba. Namun kebanyakan dari mereka tetap menjaga kawasan kelola mereka secara turun temurun tanpa.pernah mengalihkan ke kelompok lain.

Banyak hal bijak aku pelajari selama kunjungan setengah hari ini. Masyarakat di sini pernah merasakan pahit getirnya banjir dan longsor tahun 1990 yang membuat banyak dari mereka memutuskan untuk keluar desa dan kerja serabutan.

Bertahun kemudian mereka kembali melongok desa dan mendapatkan kawasan yang tidak disentuh kembali memiliki fungsi ekologis. Sejalan dengan hal itu, berbagai bentuk penyadaran yang diberikan oleh KLHK dan dinas terkait di provinsi membuat beberapa mulai tersadarkan tentang arti fungsi hutan bagi manusia dan mahluk lainnya.

Kesadaran ini yang mendorong Nibuan Syah, yang lahir pada 1963, mengajak beberapa kawan petani di desanya untuk membentuk kelompok, yang kemudian diberinama KTH Wana Manunggal. Artinya bersatu untuk menyelamatkan dan menjaga hutan dan kehidupan.

Saat mereka bersatu untuk hutan dan kehidupan, bak gayung bersambut, berbagai dukungan kemudian mereka dapatkan. Legalitas dikantongi sejak 2015 tadi, lalu berbagai bentuk kegiatan Perhutanan Sosial dilakukan.

Beberapa pihak baik nasional misalnya Direktorat BUPSHA KLHK, BPSKL Sumatera, Forest Investment Program atau FIP ke-2, dinas di provinsi (misal kehutanan dan pariwisata) serta KPH setempat memberikan berbagai dukungan. Keuntungan ekonomi, ekologi dan sosial sudah mulai mereka nikmati.

Kini, meski masih terdampak pandemi, semangat KTH Wana Manunggal tetap membara. Prinsip dari KTH yang beranggotakan 90-an kepala keluarga ini ditegaskan oleh sang ketua, Nibuan Syah. “Jangan mewariskan air mata, tapi wariskanlah mata air kepada anak cucu kita.”

–##–

* Swary Utami Dewi adalah Board Kawal Borneo, Climate Leader Indonesia, dan juga anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS).

Sumber : https://hijauku.com

cloud
cloud

Wariskan Mata Air, Jangan Air Mata


blog

Oleh: Swary Utami Dewi *

Tanggal 14 Desember 2021 aku bersama Bu Puji Iswari (Pelaksana Harian Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Pak Edi Cahyono (Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH Lakitan Bukit Cogong) mengunjungi Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Manunggal.

KTH ini merupakan dampingan KPH Lakitan Bukit Cogong, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. KTH Wana Manunggal telah mengantongi persetujuan Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak 2015. Unggulan utamanya adalah ekowisata dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berbasis agroforestri. Durian dan jengkol misalnya menjadi andalan HHBK di sini. Juga karet, rotan, madu dan berbagai jenis HHBK lainnya. HKm Wana Manunggal juga telah memberikan sumbangsih air bersih yang disalurkan melalui pipa kepada masyarakat desa setempat di luar anggota HKm.

Meski kunjungan wisatawan ke lokasi ekowisata turun drastis karena pandemi, ketahanan pangan mereka tetap terjaga dari kebun sekitar yang dikelola di areal penggunaan lain (APL) maupun dari HHBK di kawasan HKm tersebut

Di Bukit Cogong, masyarakat dan petani hutan memang tinggal di APL yang berbatasan langsung dengan hutan lindung yang dikelola masyarakat secara lestari. Ada beberapa keluarga yang sesekali mendatangi kawasan kelolanya di hutan lindung, terutama saat musim panen buah tiba. Namun kebanyakan dari mereka tetap menjaga kawasan kelola mereka secara turun temurun tanpa.pernah mengalihkan ke kelompok lain.

Banyak hal bijak aku pelajari selama kunjungan setengah hari ini. Masyarakat di sini pernah merasakan pahit getirnya banjir dan longsor tahun 1990 yang membuat banyak dari mereka memutuskan untuk keluar desa dan kerja serabutan.

Bertahun kemudian mereka kembali melongok desa dan mendapatkan kawasan yang tidak disentuh kembali memiliki fungsi ekologis. Sejalan dengan hal itu, berbagai bentuk penyadaran yang diberikan oleh KLHK dan dinas terkait di provinsi membuat beberapa mulai tersadarkan tentang arti fungsi hutan bagi manusia dan mahluk lainnya.

Kesadaran ini yang mendorong Nibuan Syah, yang lahir pada 1963, mengajak beberapa kawan petani di desanya untuk membentuk kelompok, yang kemudian diberinama KTH Wana Manunggal. Artinya bersatu untuk menyelamatkan dan menjaga hutan dan kehidupan.

Saat mereka bersatu untuk hutan dan kehidupan, bak gayung bersambut, berbagai dukungan kemudian mereka dapatkan. Legalitas dikantongi sejak 2015 tadi, lalu berbagai bentuk kegiatan Perhutanan Sosial dilakukan.

Beberapa pihak baik nasional misalnya Direktorat BUPSHA KLHK, BPSKL Sumatera, Forest Investment Program atau FIP ke-2, dinas di provinsi (misal kehutanan dan pariwisata) serta KPH setempat memberikan berbagai dukungan. Keuntungan ekonomi, ekologi dan sosial sudah mulai mereka nikmati.

Kini, meski masih terdampak pandemi, semangat KTH Wana Manunggal tetap membara. Prinsip dari KTH yang beranggotakan 90-an kepala keluarga ini ditegaskan oleh sang ketua, Nibuan Syah. “Jangan mewariskan air mata, tapi wariskanlah mata air kepada anak cucu kita.”

–##–

* Swary Utami Dewi adalah Board Kawal Borneo, Climate Leader Indonesia, dan juga anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS).

Sumber : https://hijauku.com

127
1   0

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini