Jakarta (ANTARA) - Pria berbaju hijau dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya berjalan ke sebuah rumah beratap biru dengan papan bertuliskan Rumah Produksi Madu Manti di Desa Rantau Atas. Dia masuk dan membuka kulkas, memamerkan jejeran produk madu kelulut hasil budidaya kelompok tani hutan (KTH) Nyungen Jaya.
"Rumah ini dari FIP 2, sama kulkas ini juga, karena KTH kita dianggap baik menang lomba hadiahnya rumah ini," kata Aliansyah, yang menjadi Ketua KTH Nyungen Jaya yang beraktivitas di Desa Rantau Atas, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Memperlihatkan masing-masing botol 250 milimeter dan 500 milimeter, dia menyebut madu kelulut yang dipasarkan dengan merek Madu Manti itu memiliki harga masing-masing Rp125.000 dan Rp225.000.
Pria berkulit sawo matang itu mengatakan KTH Nyungen Jaya ingin agar pemasaran produk madu kelulut, yang juga dikenal sebagai madu trigona, dapat diperluas tidak hanya di sekitar kawasan tersebut.
Senyum Aliansyah mengembang usai membicarakan potensi yang dimiliki dari pengembangan budidaya madu, yang didukung Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kendilo dan Forest Investment Program 2 (FIP 2) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Siapa sangka pria yang membanggakan hasil dari pemanfaatan hutan lestari itu adalah bekas pelaku penebangan liar di kawasan hutan dekat Desa Rantau Atas.
Aliansyah bukanlah penduduk asli Kabupaten Paser. Pada 1999, dia pindah dari Kalimantan Selatan untuk mengikuti orang yang mengatakan terdapat pekerjaan untuk menebang kayu di wilayah itu.
"Kerjaan saya dulu menggesek kayu, biasanya kayu ulin. Dijual ke tengkulak," kata Aliansyah ketika ditemui ANTARA di Kabupaten Paser pada Rabu (23/3).
Dia mulai menetap di Desa Rantau Atas pada 2000, ketika bertemu istrinya yang merupakan warga asli desa tersebut.
Pendapatan yang besar menjadi alasan utama pria berusia 45 tahun itu menjadi pembalak liar, menebang kayu tanpa memiliki izin. Uang yang didapat cukup besar, dengan Aliansyah mengatakan penghasilan Rp500.000 dalam satu hari bisa didapat dengan mudah.
Dalam sebulan, katanya, bisa mendapatkan paling tidak Rp10 juta.
Mempertimbangkan jumlah tersebut, tidak mengherankan ayah tiga anak itu kemudian melanjutkan kegiatan tersebut sampai bertahun-tahun. Meski pekerjaan sebagai pelaku penebangan liar memiliki risiko yang cukup besar.
Saat masih menjadi perambah, dia pernah dikejar oleh petugas berwenang ketika melakukan aksinya.
"Untungnya belum pernah ditangkap," tuturnya, kemudian tertawa usai mengatakan hal itu.
Aliansyah tidak sendiri dalam melakukan kegiatan itu. Dia menjelaskan bahwa dulu aktivitas penebangan liar di wilayah tersebut kebanyakan dilakukan oleh pendatang.
Aktivitas penebangan liar itu dihentikannya pada 2010-an, ketika kayu di kawasan tersebut telah habis dan harus berjalan jauh ke dalam hutan untuk mendapatkan kayu yang diinginkan.
"Memang enak uangnya tapi kerjanya juga susah. Kerjanya harus fisik yang kuat," jelasnya.
Keputusan untuk berhenti melakukan penebangan liar itu diambilnya sendiri. Kesadaran dan perjalanan hidup membuatnya memutuskan babak hidup yang mengakibatkan kerusakan pada lingkungan itu telah usai.
Dia kemudian beralih profesi menjadi petani yang menanam jagung dan berkebun sawit rakyat di lahan seluas tiga hektare.
Budidaya madu
Transformasi menjadi pelaku pengelola hutan lestari bagi Aliansyah kemudian terjadi ketika KTH Nyungen Jaya terbentuk pada 2018. Mereka kemudian bermitra dengan KPHP Kendilo dan mendapatkan dukungan FIP 2 untuk memulai budidaya lebah trigona.
Dalam pembentukannya, Aliansyah kemudian ditunjuk menjadi ketua KTH yang berada di desa berjarak dua jam perjalanan darat dari Tanah Grogot, yang merupakan ibu kota Kabupaten Paser.
Madu alam sendiri bukanlah barang baru di Desa Rantau Atas. Wilayah itu telah dikenal sebagai penghasil madu hutan di Kabupaten Paser sejak lama.
Tapi, hanya sebagian kecil orang yang terlibat dalam usaha tersebut. Dengan masyarakat lain hanya bisa melihat atau membeli dari mereka.
Kemampuan mengambil madu hutan itu diakui Aliansyah tidak dimiliki oleh banyak orang, karena bahkan pengumpul madu harus memanjat pohon setinggi berpuluh-puluh meter untuk mendapatkan madu.
Budidaya madu kelulut di Desa Rantau Atas dimulai ketika KPHP Kendilo masuk ke wilayah itu, memperkenalkan potensi yang dapat dikembangkan oleh warga desa.
Dari situ, anggota KTH Nyungen Jaya memutuskan untuk memilih melakukan budidaya madu lebah trigona. Alasannya karena di sekitar desa banyak terdapat kebun karet, yang bisa menjadi lokasi penempatan stup koloni lebah trigona.
Bantuan 120 stup didapat berkat dukungan KPHP Kendilo, FIP 2 dan program Pengembang Perhutanan Sosial Nusantara (Bang Pesona) pada 2019.
Bantuan tersebut membantu Aliansyah dan anggota KTH Nyungen Jaya yang lain untuk menghasilkan 120 liter madu pada 2020 dan sekitar 227 liter pada 2021. Hasil itu didapat dari enam lokasi budidaya di sekitar desa.
Masing-masing stup dapat menghasilkan madu sekitar 0,25 liter sampai satu liter sebulan. Bahkan ketika cuaca baik dan terjadi musim bunga, mereka bisa menghasilkan 55 liter per bulan.
Sejauh ini pada 2022, pihaknya baru melakukan panen sebesar lima liter karena pengaruh hujan yang mempengaruhi kinerja lebah di setiap stup.
Dalam penjualan produk, KTH Nyungen Jaya sejauh ini melakukan penyaluran lewat dua jalur yaitu KPHP Kendilo dan penjualan oleh anggota KTH sendiri.
Ketika disalurkan lewat KPHP Kendilo setiap liter madu dihargai Rp200.000 dan kemudian naik menjadi Rp250.000 per liter pada 2021.
Penyuluh Kehutanan KPHP Kendilo Arief Setiawan mengatakan kondisi Desa Rantau Atas cocok untuk mengembangkan madu kelulut. Jumlah koloni lebah trigona yang dibudidayakan KTH Nyungen Jaya lebih banyak dari KTH lain yang menjadi mitra KPHP Kendilo.
Kondisi alam desa itu mendukung, kata Arief, karena desa itu memiliki unsur-unsur yang diperlukan lebah trigona yaitu resin atau getah, nektar dan polen.
Getah dibutuhkan untuk menghasilkan propolis atau getah lebah, nektar dibutuhkan untuk menjadi dan polen untuk cadangan makanan anak lebah.
"Di sini semua terpenuhi secara alami. Karena tanaman buahnya banyak, tanaman getahnya banyak, tanaman yang menghasilkan polen banyak," ujarnya.
Adanya potensi tersebut, membuat Aliansyah dan KTH Nyungen Jaya bertekad ingin melebarkan jangkauan penjualan produk mereka dan meluaskan budidaya madu kelulut.
Bahkan, dia dan bersama belasan orang desa lainnya telah mengajukan proposal Pengembangan Wirausaha KTH kepada KPHP Kendilo untuk melakukan budidaya madu secara mandiri.
Selain anggota KTH, terdapat juga warga desa yang bukan anggota kelompok telah mengajukan proposal tersebut. Pengembangan madu itu dapat menambah penghasilan utama mereka sebagai petani.
Sejauh ini, hampir 90 persen pemasaran masih dilakukan lewat KPHP Kendilo. Aliansyah berharap pihaknya ke depan dapat menjual lebih banyak produk madu kelulut dengan brand mereka sendiri yaitu "Madu Manti".
Mereka kini tengah mencoba untuk mengurus Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-PIRT) meluaskan penjualan ke wilayah yang lebih besar.
Dia berharap budidaya madu itu ke depannya dapat menjadi penghasilan utama bagi anggota KTH Nyungen Jaya dan masyarakat desa pada umumnya.
Harapannya seperti nama Madu Manti yang diusung KTH Nyungen Jaya, yang diambil dari nama sungai di kawasan itu, maka rezeki mereka dapat mengalir seperti air di sungai dan memberikan manfaat bagi KTH dan masyarakat sekitar.
Sumber : www.antaranews.com