Ringkasan

KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL KPH DOLAGO TANGGUNUNG

Latar Belakang

Secara astronomis, KPH Dolago Tanggunung berada pada posisi 119° 54’ 13,80” s.d 120° 33’ 40,03” BT dan 0° 42’ 46,15” s.d 1° 14’ 12,67” LS. Secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Sigi, Donggala, dan Kota di Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

KPH Dolago Tanggunung memiliki luas areal ± 144.349 Ha, yang terdiri atas Hutan Lindung ± 67.794 Ha, Hutan Produksi Terbatas ± 57.548 Ha, dan Hutan Produksi ± 19.008 Ha. Luas kawasan hutan KPH Dolago Tanggunung mengalami beberapa perubahan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.635/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 8.409 Ha dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 91 Ha. Kawasan hutan lindung di wilayah KPH Dolago Tanggunung memiliki luas areal sebesar ± 58.418 ha yang berdasarkan hasil tata hutan terbagi menjadi 2 (dua) blok, yaitu Blok Inti seluas ± 22.491 Ha dan Blok Pemanfaatan seluas ± 35.927 Ha. Kawasan hutan produksi di KPH Dolago Tanggunung, memiliki luas yang paling tinggi yaitu ± 71.050 ha, terdiri dari atas 6 (enam) blok yaitu Blok Perlindungan seluas ± 1.320 Ha, Blok Pemanfaatan HHK-HA ± 26.874 Ha, Blok Pemanfaatan HHK-HT seluas ± 22.276 Ha, Blok Pemanfaatan Kawasan seluas ± 8.313 Ha, Blok Pemberdayaan Masyarakat seluas ± 7.187 Ha, Blok Khusus ± 5.080 Ha. Wilayah tertentu yang merupakan wilayah hutan dengan situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya,  memiliki luas total ± 19.263 Ha atau sebesar 15% dari luas wilayah

Kajian lingkungan dan sosial diperlukan untuk menganalisis kondisi lingkungan dan sosial awal (baseline) yang mencakup sekurang-kurangnya aspek kajian terkait dengan komposisi dan karakteristik demografis; adanya masyarakat rentan dan miskin yang berpotensi terkena dampak oleh kegiatan KPH; konflik lahan; klaim tanah yang muncul dan risiko lainnya yang relevan; keanekaragaman hayati dan habitat alami yang penting; dan aspek lain yang relevan dan perlu dipahami dengan lebih baik untuk mendukung operasionalisasi KPH.

Maksud dan Tujuan

Kegiatan Kajian Lingkungan dan Sosial dimaksudkan untuk dapat memberikan rekomendasi dalam bentuk pengembangan strategi yang lebih tepat untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari seperti yang direncanakan dalam RPHJP KPH dan memperkuat langkah-langkah mitigasi pengamanan (safeguards) yang ada. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui informasi yang lebih terperinci dan mengembangkan analisis yang lebih baik terhadap aspek lingkungan dan sosial yang ada di KPH, mengetahui berbagai potensi mata pencaharian dan alternatif pilihan Pengelolaan Sumber Daya Alam Lestari, termasuk analisis terhadap berbagai kendala, serta mengetahui kapasitas kelembagaan KPH dan mitra KPH dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial.

Metodologi

Pendekatan yang digunakan dalam Kajian Lingkungan dan Sosial di Wilayah KPH Dolago Tanggunung mencakup dua pendekatan, yakni Pendekatan Yuridis dan Pendekatan Konseptual. Pendekatan yuridis digunakan agar kegiatan ini selaras dengan berbagai aturan dan perundangan yang berlaku. Sementara itu, pendekatan konseptual digunakan dalam rangka pertanggungjawaban kegiatan secara keilmuan/teoritis. Landasan konseptual sangat diperlukan agar secara substansial pelaksanaan kegiatan memiliki konsep-konsep yang jelas dan memiliki justifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan model kerangka berpikir yang dikembangkan pada metode penelitian yang digunakan tersebut, pengelolaan hutan lestari memerlukan pengelolaan faktor input yang mempengaruhi pengelolaan dan perlindungan hutan dari faktor pengganggu. Faktor input tersebut mencakup kondisi hutan (kondisi biofisik hutan), kondisi lingkungan serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Faktor input lainnya adalah faktor lingkungan internal berupa kapasitas organisasi KPH dan lingkungan eksternal berupa kebijakan yang mempengeharuhi pengelolaan hutan baik ditingkat lokal, nasional, maupun isue-isue golobal. Aspek yang dianalisis mencakup kajian lingkungan dan sosial.

Hasil Analisis

KPH Dolago Tanggunung walaupun termasuk kelompok KPH Hutan Produksi tetapi dari segi luas kawasan memiliki luasan yang hampir berimbang antara kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Selain itu, kawasan KPH juga berbatasan dengan Taman Nasioal Lore Lindu yang memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta ekosistem yang unik karena terletak di garis Wallace yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia. Tingginya potensi keragaman hayati memberikan konsekuensi terhadap kebijakan dan strategi pengelolaan KPH kedepan karena aspek konservasi keragaman hayati merupakan isu yang sangat penting tidak saja terkait upayan perlindungan dan pelestarian tetapi juga pemanfaatan keragaman hayati yang sudah dan potensial dimanfaatakan masyarakat. Pada saat ini pemanfaatan keragaman hayati yang ada seperti rotan (bahan baku industri), nira (bahan pangan), bambu, kayu (bahan bangunan), dan sumber hayati lain lebih menonjol dibandingkan upaya pelestarian dan perlindungannya.

Persoalan kualitas lingkungan fisik yang menonjol berdasarkan hasil kajian adalah penurunan kualitas air dan penurunan kualitas tanah akibat alih fungsi lahan dan kualitas air sungai. Tanah hutan cenderung mengalami kerusakan akibat produksi biomasa. Alih fungsi hutan primer ke penggunaan lain cenderung menurunkan kualitas tanah sehingga mempengaruhi dan menjadi faktor pembatas produktifitas lahan.

Pada aspek demografi, yang menonjol sebagai potensi masalah dalam pengelolaan hutan di KPH Dolago Tanggunung adalah tingkat Pendidikan masyarakat yang rendah, angka pengangguran terbuka yang sangat tinggi dan rendahnya pendapatan masyarakat. Terdapat keanekaan suku yang berasal dari suku asli/lokal dan pendatang. Suku pendatang berasal dari berbagai wilayah seperti, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Buton, Gorontalo, Manado, Batak, Padang, Banjar termasuk masyarakat keturunan Cina. Dari segi etnis maupun segi agama, masing-masing suku pendatang tersebut dilihat dari segi jumlahnya sangat berimbang dengan penduduk suku asli Kaili Daa dan Suku Lauje yang merupakan Kelompok Adat Terpencil yang berada di wilayah KPH. Suku lokal masih memiliki pranata adat dan kearifan lokal sehingga potensial untuk didayagunakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat terkait pengelolaan hutan berbasis masakarat.

Konflik tenurial masih menjadi persoalan yang menonjol. Konflik ini muncul dengan berbagai latar belakang, antara lain terjadi akibat pelanggaran terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan sebagai hutan negara secara sepihak tanpa memperhatikan kelompok adat atau masyarakat lokal yang telah ada (hasil FGD dengan LSM, 2018). Pada tingkat tapak, konflik tenurial muncul akibat tata batas antara wilayah desa atau tanah milik dan konsesi atau kawasan hutan sudah tidak jelas.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan merupakan persoalan strategis untuk dikembangkan. Nilai komoditas hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan memiliki kelebihan dibandingkan dengan nilai hasil hutan utama (perkayuan), di mana komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam dan sekitar wilayah hutan tesebut.

Secara kelembagaan, kapasitas KPH selain yang terkait dengan persoalan kewenganan yang diatur dalam regulasi, adalah persoalan kapasitas dan kompetensi sumberdaya manusia (SDM). Pengembangan KPH Dolago Tanggunung masih sangat memerlukan peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM. Kurangnya kompetensi dan kapasitas SDM menjadi alasan masih terbatasnya kinerja pengelolaan hutan pada saat ini.

Rekomendasi

Rekomendasi merupakan strategi, alternatif program dan kegiatan pengelolaan hutan oleh KPH Dolago Tanggunung ke depan terkait aspek lingkungan dan sosial. Rekomendasi disusun berdasarkan persoalan pokok lingkungan dan sosial berdasarkan data dan analisis kajian serta hasil analisis SWOT.

Strategi SO

Strategi WO

Strategi ST

Strategi WT

Berdasarkan analisis dan strategi sebagaimana tersebut di atas, disusun rekomendasi program dan kegiatan yang harus dilakukan berdasarkan tata waktu yang disesuaikan dengan RPHJP KPH Dolago Tanggunung.

cloud
cloud

LAPORAN AKHIR KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL KPH DOLAGO TANGGUNUNG


blog

Ringkasan

KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL KPH DOLAGO TANGGUNUNG

Latar Belakang

Secara astronomis, KPH Dolago Tanggunung berada pada posisi 119° 54’ 13,80” s.d 120° 33’ 40,03” BT dan 0° 42’ 46,15” s.d 1° 14’ 12,67” LS. Secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Sigi, Donggala, dan Kota di Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

KPH Dolago Tanggunung memiliki luas areal ± 144.349 Ha, yang terdiri atas Hutan Lindung ± 67.794 Ha, Hutan Produksi Terbatas ± 57.548 Ha, dan Hutan Produksi ± 19.008 Ha. Luas kawasan hutan KPH Dolago Tanggunung mengalami beberapa perubahan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.635/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 8.409 Ha dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 91 Ha. Kawasan hutan lindung di wilayah KPH Dolago Tanggunung memiliki luas areal sebesar ± 58.418 ha yang berdasarkan hasil tata hutan terbagi menjadi 2 (dua) blok, yaitu Blok Inti seluas ± 22.491 Ha dan Blok Pemanfaatan seluas ± 35.927 Ha. Kawasan hutan produksi di KPH Dolago Tanggunung, memiliki luas yang paling tinggi yaitu ± 71.050 ha, terdiri dari atas 6 (enam) blok yaitu Blok Perlindungan seluas ± 1.320 Ha, Blok Pemanfaatan HHK-HA ± 26.874 Ha, Blok Pemanfaatan HHK-HT seluas ± 22.276 Ha, Blok Pemanfaatan Kawasan seluas ± 8.313 Ha, Blok Pemberdayaan Masyarakat seluas ± 7.187 Ha, Blok Khusus ± 5.080 Ha. Wilayah tertentu yang merupakan wilayah hutan dengan situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya,  memiliki luas total ± 19.263 Ha atau sebesar 15% dari luas wilayah

Kajian lingkungan dan sosial diperlukan untuk menganalisis kondisi lingkungan dan sosial awal (baseline) yang mencakup sekurang-kurangnya aspek kajian terkait dengan komposisi dan karakteristik demografis; adanya masyarakat rentan dan miskin yang berpotensi terkena dampak oleh kegiatan KPH; konflik lahan; klaim tanah yang muncul dan risiko lainnya yang relevan; keanekaragaman hayati dan habitat alami yang penting; dan aspek lain yang relevan dan perlu dipahami dengan lebih baik untuk mendukung operasionalisasi KPH.

Maksud dan Tujuan

Kegiatan Kajian Lingkungan dan Sosial dimaksudkan untuk dapat memberikan rekomendasi dalam bentuk pengembangan strategi yang lebih tepat untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari seperti yang direncanakan dalam RPHJP KPH dan memperkuat langkah-langkah mitigasi pengamanan (safeguards) yang ada. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui informasi yang lebih terperinci dan mengembangkan analisis yang lebih baik terhadap aspek lingkungan dan sosial yang ada di KPH, mengetahui berbagai potensi mata pencaharian dan alternatif pilihan Pengelolaan Sumber Daya Alam Lestari, termasuk analisis terhadap berbagai kendala, serta mengetahui kapasitas kelembagaan KPH dan mitra KPH dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial.

Metodologi

Pendekatan yang digunakan dalam Kajian Lingkungan dan Sosial di Wilayah KPH Dolago Tanggunung mencakup dua pendekatan, yakni Pendekatan Yuridis dan Pendekatan Konseptual. Pendekatan yuridis digunakan agar kegiatan ini selaras dengan berbagai aturan dan perundangan yang berlaku. Sementara itu, pendekatan konseptual digunakan dalam rangka pertanggungjawaban kegiatan secara keilmuan/teoritis. Landasan konseptual sangat diperlukan agar secara substansial pelaksanaan kegiatan memiliki konsep-konsep yang jelas dan memiliki justifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan model kerangka berpikir yang dikembangkan pada metode penelitian yang digunakan tersebut, pengelolaan hutan lestari memerlukan pengelolaan faktor input yang mempengaruhi pengelolaan dan perlindungan hutan dari faktor pengganggu. Faktor input tersebut mencakup kondisi hutan (kondisi biofisik hutan), kondisi lingkungan serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Faktor input lainnya adalah faktor lingkungan internal berupa kapasitas organisasi KPH dan lingkungan eksternal berupa kebijakan yang mempengeharuhi pengelolaan hutan baik ditingkat lokal, nasional, maupun isue-isue golobal. Aspek yang dianalisis mencakup kajian lingkungan dan sosial.

Hasil Analisis

KPH Dolago Tanggunung walaupun termasuk kelompok KPH Hutan Produksi tetapi dari segi luas kawasan memiliki luasan yang hampir berimbang antara kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Selain itu, kawasan KPH juga berbatasan dengan Taman Nasioal Lore Lindu yang memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta ekosistem yang unik karena terletak di garis Wallace yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia. Tingginya potensi keragaman hayati memberikan konsekuensi terhadap kebijakan dan strategi pengelolaan KPH kedepan karena aspek konservasi keragaman hayati merupakan isu yang sangat penting tidak saja terkait upayan perlindungan dan pelestarian tetapi juga pemanfaatan keragaman hayati yang sudah dan potensial dimanfaatakan masyarakat. Pada saat ini pemanfaatan keragaman hayati yang ada seperti rotan (bahan baku industri), nira (bahan pangan), bambu, kayu (bahan bangunan), dan sumber hayati lain lebih menonjol dibandingkan upaya pelestarian dan perlindungannya.

Persoalan kualitas lingkungan fisik yang menonjol berdasarkan hasil kajian adalah penurunan kualitas air dan penurunan kualitas tanah akibat alih fungsi lahan dan kualitas air sungai. Tanah hutan cenderung mengalami kerusakan akibat produksi biomasa. Alih fungsi hutan primer ke penggunaan lain cenderung menurunkan kualitas tanah sehingga mempengaruhi dan menjadi faktor pembatas produktifitas lahan.

Pada aspek demografi, yang menonjol sebagai potensi masalah dalam pengelolaan hutan di KPH Dolago Tanggunung adalah tingkat Pendidikan masyarakat yang rendah, angka pengangguran terbuka yang sangat tinggi dan rendahnya pendapatan masyarakat. Terdapat keanekaan suku yang berasal dari suku asli/lokal dan pendatang. Suku pendatang berasal dari berbagai wilayah seperti, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Buton, Gorontalo, Manado, Batak, Padang, Banjar termasuk masyarakat keturunan Cina. Dari segi etnis maupun segi agama, masing-masing suku pendatang tersebut dilihat dari segi jumlahnya sangat berimbang dengan penduduk suku asli Kaili Daa dan Suku Lauje yang merupakan Kelompok Adat Terpencil yang berada di wilayah KPH. Suku lokal masih memiliki pranata adat dan kearifan lokal sehingga potensial untuk didayagunakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat terkait pengelolaan hutan berbasis masakarat.

Konflik tenurial masih menjadi persoalan yang menonjol. Konflik ini muncul dengan berbagai latar belakang, antara lain terjadi akibat pelanggaran terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan sebagai hutan negara secara sepihak tanpa memperhatikan kelompok adat atau masyarakat lokal yang telah ada (hasil FGD dengan LSM, 2018). Pada tingkat tapak, konflik tenurial muncul akibat tata batas antara wilayah desa atau tanah milik dan konsesi atau kawasan hutan sudah tidak jelas.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan merupakan persoalan strategis untuk dikembangkan. Nilai komoditas hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan memiliki kelebihan dibandingkan dengan nilai hasil hutan utama (perkayuan), di mana komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam dan sekitar wilayah hutan tesebut.

Secara kelembagaan, kapasitas KPH selain yang terkait dengan persoalan kewenganan yang diatur dalam regulasi, adalah persoalan kapasitas dan kompetensi sumberdaya manusia (SDM). Pengembangan KPH Dolago Tanggunung masih sangat memerlukan peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM. Kurangnya kompetensi dan kapasitas SDM menjadi alasan masih terbatasnya kinerja pengelolaan hutan pada saat ini.

Rekomendasi

Rekomendasi merupakan strategi, alternatif program dan kegiatan pengelolaan hutan oleh KPH Dolago Tanggunung ke depan terkait aspek lingkungan dan sosial. Rekomendasi disusun berdasarkan persoalan pokok lingkungan dan sosial berdasarkan data dan analisis kajian serta hasil analisis SWOT.

Strategi SO

  • Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan terutama HHBK dan jasa lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal.
  • Konservasi Keanekaragaman hayati melalui peningkatan peran tokoh masyarakat dan LSM pendamping serta institusi lain

Strategi WO

  • Pengembangan kapasitas kelembangaan KTH dalam pengelolaan hutan
  • Pengembangan Kapasitas KPH (SDM, Sarana dan Prasana, Anggaran) melalui penguatan regulasi KPH, penguatan kebijakan daerah, kerjasama dengan lembaga-lembaga local dan internasional
  • Peningkatan pemahaman masyarakat dan stakeholder tentang KPH melalui kerjasama kegiatan sosialisasi dan penyuluhan
  • Pengembangan Perhutanan Sosial melalui model pengelolaan hutan berbasis masyarakat

Strategi ST

  • Pelestarian ekosistem Hutan melalui sosialisasi dan kerjasama kemitraan
  • Penerapan mekanisme resolusi konflik tenurial melalui pendekatan partisipatpory approach
  • Pengembangan kerjasama multipihak dalam pengelolaan hutan di wilayah KPH secara lestari
  • Pengembangan Jasa Lingkungan/ODTW berbasis masyarakat setempat

Strategi WT

  • Peningkatan produksi dan optimalisasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu melalui pendekatan klaster industry guna meningkatkan nilai tambah, meningkatkan efisiensi dan keuntungan industri
  • Pengembangan model Perhutanan Sosial yang berorientasi pada produk hutan dan jasa lingkungan yang prospektif

Berdasarkan analisis dan strategi sebagaimana tersebut di atas, disusun rekomendasi program dan kegiatan yang harus dilakukan berdasarkan tata waktu yang disesuaikan dengan RPHJP KPH Dolago Tanggunung.

234
2   0

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini