- Masyarakat di Gunung Dempo mendapat izin kelola hutan lewat skema perhutanan sosial dan mereka peroleh izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kibuk seluas 420 hektar, di wilayah yang masuk kawasan hutan lindung.
- Awalnya, praktik buka lahan untuk pertanian terjadi. Kini, masyarakat sudah bentuk kelompok tani dan memanfaatkan kawasan hutan dengan lestari, sebagai tempat mereka hidup sekaligus berupaya menjaga keberlanjutannya. Mereka mulai menanam beragam pohon, seperti nangka, alpukat, jambu, kopi dan lain-lain. Mereka terapkan pola agroforestri.
- Kala terkelola dengan baik, mereka yakin Hutan Kemasyarakatan Kibuk punya potensi ekowisata. Rusi Siruadi, Sekretaris HKm Kibuk mengatakan, dengan mengembangkan tanaman endemik hutan lindung Bukit Dingin, ekowisata itu juga bentuk perlindungan hutan dari penebangan liar, kebakaran dan perubahan peruntukan. Juga, pengayaan tanaman pada lahan kritis atau bekas kebun yang tak digarap lagi.
- Pengurus Hutan Kemasyarakatan Kibuk juga tengah memperkuat dan meningkatkan struktur kelembagaan maupun kapasitas anggotanya. Saat ini, sudah terbentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) dan kelompok kerja atau pokja di masing-masing blok. Mereka tengah merancang pelatihan dan rencana studi banding.
Mobil kami meliuk-liuk bak ular di sela-sela hamparan kebun teh menghijau, milik PT Perkebunan Nusantara VII di Lereng Gunung Dempo, Kota Pagar Alam, Sulawesi Selatan. Hari itu, kami menuju Hutan Kemasyarakatan Kibuk di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara. Jalan berbatu, Makin ke atas, makin memacu adrenalin, jurang makin dalam.
Menjelang perbatasan HKm, sisi bahu jalan setapak tak ada pembatas lagi. Sedikit saja ban mobil terpeleset, bisa langsung terjun ke jurang.
Niandi, anggota HKm Sibuk, sangat cekatan memutar setir mobil Jimny Badak, pada tiap tikungan patah. Setelah satu jam, kami pun sampai.
Pelang nama berkelir biru terpampang. “Selamat datang di kawasan HKm Kibuk SK.5756/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL 0/10/2017 luas 450 hektar. Tertera juga logo Hutan Kita Institute (Haki) dan UPTD KPH Wilayah X Dempo, Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Setidaknya ada 20 patok serupa pada tiap sudut perbatasan HKm Kibuk. Setelah mendapati patok pertama dan sekali menanjak lagi melewati tikungan patah ke kiri, kami istirahat sejenak di atas tebing batu yang dikelilingi pohon pandan.
“Mahasiswa pecinta alam sering panjat tebing di sini,” kata Martha Fitriyani, Staf Haki, sekaligus pendamping masyarakat pengelola HKm Kibuk.
Di sana sudah melekat sejumlah hanger dengan baut tanam. Biasa, itu untuk mengaitkan carabiner, sebagai penghubung tali karmantel yang kerap dipakai pemanjat. Suhu pada ponsel menunjukkan angka 25oc. Kami keluarkan beberapa kudapan. Seruput kopi robusta yang masih panas.
Kami kemudian sedikit mendaki, pemandangan mulai berubah. Ada kol, bawang, cabai, sawi, kentang, wortel, seledri, tomat dan labu terhampar.
Tak hanya sayur mayur, petani Dempo Utara mulai memperkaya lahan dengan tanaman keras seperti buah-buahan. Ada nangka, jambu dan alpukat juga kopi. Sejak mendapat izin HKm, masyarakat mulai sadar untuk memulihkan kembali hutan sesuai fungsinya.
“Sekarang kita mulai guyur (berangsur atau bertahap) menanam tanaman keras sembari tetap bersayur. Jadi tidak buka tutup lagi,” Rusi Siruadi, Sekretaris HKm Kibuk.
Dari dokumen rencana kerja umum (RKU), HKm Kibuk merupakan kawasan hutan lindung, kelompok hutan lindung Bukit Dingin, Pagar Alam. Kondisi tutupan vegetasi berupa hutan sekunder. Sebagian areal terlanjur dibuka masyarakat dengan bertani sayur.
Hutan lindung Bukit Dingin sangat penting bagi lingkungan hidup, dan manusia.
Potensi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di sana selain kopi, ada rotan, karet, bambu, durian, jengkol dan madu lebah. Mereka pakai pola agroforestri.
Rencana kerja HKm Kibuk ditetapkan dalam lima kegiatan. Pertama, konservasi, perlindungan dan pengamanan hutan. Pada zona konservasi seluas 200 hektar, akan dikembangkan usaha hasil hutan kayu. Ia berupa penanaman kayu sabun dan kayu ara sekitar 100 hektar per 10.000 bibit. Juga akan prioritas tanaman khas kehutanan setempat, seperti ceri dan mahoni dengan jangka waktu penanaman 10 tahun.
Untuk rencana perlindungan dan pengamanan hutan dibentuk 30 personil antara lain 12 orang patroli penebangan liar dan perlindungan satwa. Sedangkan 18 orang masyarakat peduli api bertugas mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Sembari itu, para anggota pengamanan akan memasang rambu-rambu peringatan dan sosialisasi peningkatan kesadaran perlindungan hutan. Termasuk melengkapi sarana dan prasarana pendukung kegiatan personil di lapangan.
“Hutan ini pernah terbakar hebat 2015. Tahun 2019 juga sempat terbakar lagi,” kata Dirlian, petani juga anggota pengelola HKm Kibuk.
Kedua, pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Kopi robusta dan pala akan dikembangkan pada lahan 141 hektar. Alpukat, jeruk gerga dan nangka 45 hektar dan 5 hektar lagi untuk areal pembibitan tanaman itu.
Ketiga, pemanfataan kawasan hutan 20 hektar buat tanaman hias, berupa anggrek dan perlindungan satwa seperti siamang, simpai dan burung.
Keempat, pemanfaatan jasa lingkungan, seperti untuk penyerapan karbon pada seluruh zona lindung sekaligus hendak memperkenalkan hutan lindung di Sumsel.
Menurut mereka, wilayah HKm ini berpotensi jadi ekowisata. Rusi mengatakan, dengan mengembangkan tanaman endemik hutan lindung Bukit Dingin, ekowisata itu juga bentuk perlindungan hutan dari penebangan liar, kebakaran dan perubahan peruntukan. Juga, pengayaan tanaman pada lahan kritis atau bekas kebun yang tak digarap lagi.
Ekowisata lain, yang akan dikembangkan, katanya, obyek wisata panorama, hiking dan agrowisata jeruk. Saat ini, pengelola HKm Kibuk berangsur-angsur membersihkan dan mempersiapkan areal, perencanaan rute atau jalur, perbaikan akses jalan, dan pembuatan pondok.
Mereka juga tengah memperkuat dan meningkatkan struktur kelembagaan maupun kapasitas anggotanya. Saat ini, katanya, sudah terbentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) dan kelompok kerja atau pokja di masing-masing blok. Mereka tengah merancang pelatihan dan rencana studi banding.
“Harapan kita, sekian tahun ke depan tercipta wisata agroforestri. Kita juga sedang penuhi kewajiban membayar pajak, sesuai amanat dalam SK,” katanya.
Sebagian wilayah HKm Kibuk dulu bekas kebun teh Belanda. Dia bilang, jalan desa merupakan salah satu jejak peninggalan perusahaan masa pemerintahan kolonial Belanda, termasuklah kebun dan pabrik teh PTPN VII, saat ini. Pada blok 1, atau bagian paling atas HKm Kibuk, bahkan masih ada beberapa pohon teh tua tinggi menjulang, sebagian tumbuh liar.
Dalam liputan Jelajah Musi oleh tim Kompas.id, kebun teh itu sempat dikuasai Jepang saat Perang Dunia II. Kebun dan pabrik pernah dimusnahkan, ketika perundingan meja bundar Indonesia-Belanda tengah berlangsung. Perusahaan Belanda lain membangun kembali pabrik itu sampai akhirnya Pemerintah Soekarno jadikan sebagai aset nasional.
Sejak dikelola PTPN VII, masyarakat kerap bersengketa soal tapal batas kebun. Setelah ada penetapan HKm, masalah itu mereda. “Rencananya, jalan ini kami jadikan wisata track off road. Tinggal dibersihkan,” kata Niandi.
Warga banyak rencana untuk mengelola HKm Kibuk ini dengan sekaligus menjaganya. Hutan ini jadi tempat mereka hidup, tetapi bagaimana memastikan alam, termasuk satwa, sebagai penghuni, bisa terjaga.
“Seluruh anggota sudah bersedia menanam hasil hutan bukan kayu. Kami juga bercita-cita jadikan hutan lindung HKm Kibuk sebagai sekolah alam,” kata Boedi, Ketua HKm Kibuk.
Sumber : www.mongabay.co.id