Reporter : DEDE ISWADI IDRIS
Editor : ADITYA NUGROHO
RM.id Rakyat Merdeka - Berada di bagian barat Provinsi Jambi. Kabupaten Sarolangun memiliki hutan yang masih lestari. Bisa dibilang, Sarolangun adalah paru-parunya Jambi.
Rakyat Merdeka bersama tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Forest Investment Program 2 (FIP 2) berkesempatan berkunjung ke sana, Rabu (24/8)-Sabtu (27/8). Persisnya, ke Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Limau Unit VII Hulu Sarolangun.
Dari Bandara Sultan Thaha, Kota Jambi, sebelum melanjutkan ke Sarolangun yang jaraknya masih 190 KM atau 5 jam naik mobil, tim mampir ke kantor Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) IV Jambi, dulunya BPHP. Tim hendak silaturahmi sekaligus izin kedatangan.
“Kalau mau masuk atau keluar Sarolangun, saya ingatkan jangan di atas jam 2 siang ya. Sebab sudah banyak truk dan kontainer batu bara turun ke jalan,” kata A. Saifullah Kepala Seksi Perencanaan BPHL IV Jambi.
Dia menyebut, jalur menuju Sarolangun dari Kota Jambi yang melintasi Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Batang Hari ada 10 ribu truk dan kontainer. Sebenarnya jam operasional mulai pukul 18.00 WIB, namun jam 3 sore mereka mulai melipir. Sehingga semakin sore jalur tersebut kian padat merayap.
“Kalau dibagi dua saja, 5 ribu menuju Sarolangun dan 5 ribu lagi menuju Kota Jambi. Di mana panjang truk 6 meter, itu sudah 30 KM, bayangkan saja bagaimana padatnya,” jelasnya. Saifullah bilang kepadatan akan semakin parah jika ada truk/kontainer yang mogok di tengah jalan.
Tak mau terjebak kemacetan, sekitar jam 10.30 WIB, tim bergegas ke Sarolangun. Sekitar jam 15.00 WIB tim tiba di Sarolangun. Setelah mandi dan makan, tim menuju Kantor KPHP Limau. Tim disambut Arbain, Kepala KPHP Limau dan jajarannya. Kami saling mengenalkan diri sambil ngobrol santai mengenai KPHP Limau dan Kelompok Tani Hutan (KTH).
Dijelaskan Arbain, KPHP Limau membina 27 KTH yang tersebar di tiga kecamatan. Yakni, Kecamatan Batang Asai, Limun dan Cermin Nan Gedang (CNG). Dari 27 KTH itu, 10 KTH menjadi mitra FIP 2. “KTH binaan KPHP Limau mempunyai produk unggulan seperti madu, Minyak Kepayang, Minyak Nilam, kopi, rotan dan bambu, serta ekowisata,” kata Arbain.
Pria yang akrab disapa Baim itu menuturkan, KPHP Limau bertanggungjawab menjaga kelestarian hutan seluas 121.102 hektar. Terdiri dari 700 hektar hutan lindung, sisanya adalah hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
Hasil hutan bukan kayu ini yang dimanfaatkan KTH untuk dikelola dan dijadikan produk bernilai ekonomis. Dengan begitu cita-cita KPHP pun terwujud. Hutan lestari, masyarakat sejahtera. Produk KTH binaan KPHP Limau mulai dikenal masyarakat luas. Seperti Minyak Kepayang, yang merupakan satu-satunya di dunia. KPHP Limau juga sudah merintis marketnya hingga ke pasar internasional.
Selain bisa digunakan untuk menggoreng, Minyak Kepayang juga dapat diolah menjadi sabun kecantikan untuk wajah, body lotion, lipstik, minyak urut, minyak aroma terapi, bahkan obat untuk sakit gigi.
KPHP juga mendorong pemasaran madu produk KTH yang telah memiliki brand ‘Limau Honey’. Madu ini sudah dilirik konsumen dari luar negeri, salah satunya Jepang. Juga, ada produk anyaman dari bambu, rotan dan pandan. Anyaman sendiri sudah menjadi tradisi di Sarolangun.
Namun bukan hal mudah mengelola ratusan ribu hektar hutan. Selain kurangnya SDM dan kesadaran masyarakat akan keberlangsungan hutan, ada faktor lain yang menjadi tantangan tersendiri bagi KPHP Limau.
“Tantangan terberat itu, ya dari PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) yang mulai marak sejak 10 tahun belakangan ini,” ungkap Baim.
Kini, hutan kawasan di bawah naungan KPHP Limau, sudah terkepung PETI. Bantaran sungai dan kebun-kebun milik warga berubah alih fungsi. Jadi tambang emas ilegal. Baim mengaku tak dapat mencegah. “Bagaimana ya, itu memang lahan mereka, bukan ranah kami. Jadi kami hanya terus mengedukasi dan memberi pemahaman saja,” jelasnya.
Nah ketika ada yang masuk hutan kawasan, baru KPHP bisa bertindak. “Ada beberapa kali yang mencoba, tapi keburu kami cegah. Kalau di hutan kawasan, kami berkewajiban mencegah, sebab itu memang tugas dan wilayah kami,” imbuhnya.
Diakui Baim, selain menyebabkan kerusakan tanah. Lahan bekas PETI menjadi berlubang dan tandus. Sebab, penambangan menyebabkan bebatuan putih di dalam tanah terangkat. Batu-batu tersebut kemudian berada di atas tanah. Maka tak heran jika lahannya menjadi putih. Bukan merah (tanah), apalagi hijau (tumbuhan).
Selain itu, PETI juga menyebabkan sungai tercemar. Air sungai menjadi keruh. Seperti Sungai Batang Limun yang mengalir ke Sungai Batang Tembesi dan bermuara di Sungai Batang Hari. Dulu, airnya jernih. Bahkan ikan di dasar sungai pun bisa terlihat. "Sekarang jangan kan terlihat, ikannya juga sudah tidak ada," bebernya.
Keberadaan KTH inilah yang dapat sedikit meredam PETI. Terlebih ketika mereka disupport FIP 2. “FIP 2 sangat banyak membantu KTH, baik dari pengadaan alat produktif, pengembangan SDM, kelembagaan dan pelatihan. Sehingga dapat memproduksi produk untuk dipasarkan,” katanya.
Berkat FIP 2, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu sebagai sumber penghasilan. “Kami sangat berterimakasih kepada FIP 2, yang tidak hanya berdampak kepada KPHP tapi juga kepada masyarakat hutan dan mengangkat perekonomian mereka,” ucapnya.
31 Desember 2022, Program FIP 2 akan berakhir. Baim pun berharap ada program lain yang dapat membantu KPHP untuk mengembangkan KTH, terutama yang belum tersentuh. “Sebagai pengelola hutan di tingkat tapak, kami sangat berharap peran serta dari stakeholder terkait, baik dari Pemerintah Daerah, Provinsi maupun Pusat, juga lembaga-lembaga dan NGO, untuk dapat membantu dalam mengelola hutan. Sehingga hutan yang masih tersisa bisa dijaga, tetap lestari dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” tegasnya.
Berita Terkait : Para Koruptor, Jangan Tiru Harun Masiku
Agustina Tandi Bunna, Communication Specialist for Environmental FIP 2 mengaku bangga dengan semangat dan komitmen KPHP Limau serta KTH-nya. Di tengah tantangan pengrusakan sumber daya alam, mereka tetap berkomitmen melestarikan hutan.
“Kita lihat sekeliling mereka ada perusakan sungai dengan penambangan emas ilegal, tapi mereka tetap berkomitmen untuk melestarikan hutan,” kata wanita asal Kalimantan yang biasa dipanggil Ebe.
Ebe menilai, ketika masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan hutan, maka hutan itu akan lestari. Dia pun mengapresiasi KPHP Limau yang tanpa lelah membina, mendampingi, mengedukasi, serta menjadi sahabat masyarakat hutan. “Mendampingi teman-teman KTH sampai menjadi mitra proyek FIP 2 itu suatu yang luar biasa, bahwa kerja-kerja konservasi di tingkat tapak oleh KPH itu berhasil,” ujarnya.
Terlebih, kerja konservasi itu bukan hanya tentang individu atau lembaga tertentu. “Kalau kita ingin hutan itu lestari masyarakat sejahtera, membutuhkan kolaborasi semua pihak,” tegasnya.
Sumber : https://rm.id