SOSIALISASI : Kepala UPTD KPH Kota Tarakan, Ridwanto Suma saat membuka Sosialisasi Batas HL Pulau Tarakan dan Pengenalan SIfoKal di ruang pertemuan Kecamatan Tarakan Utara, belum lama ini.

 

TARAKAN – Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kota Tarakan menggelar Sosialisasi Batas Kawasan Hutan Lindung (HL) Pulau Tarakan dan Pengenalan Sistem Informasi Kawasan Hutan Lindung (SIfoKaL) di ruang pertemuan Kantor Kecamatan Tarakan Utara, Rabu (15/11).

Acara yang dibuka Kepala UPTD KPH Kota Tarakan, Ridwanto Suma ini, melibatkan Tim Efektif KPH Tarakan. Salah satunya, Arief Rakhman yang menjabat Analis Pemberdayaan Masyarakat pada UPTD KPH Kota Tarakan selaku pemapar yang ditopang beberapa pejabat fungsional Penyuluh dan lainnya.

Suma mengatakan, tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat dan aparat pemerintah baik kecamatan, kelurahan dan RT tentang batas-batas kawasan HL di Tarakan yang secara administasi bersinggungan dengan wilayah kerjanya. “Sosialisasi ini dilaksanakan karena masih banyak masyarakat yang berkegiatan di dalam kawasan lindung, dan tentunya akan berimplikasi ke ranah hukum. Tentu, kita tidak ingin hal ini terus terjadi. Untuk itu, KPH Tarakan terus berupaya meningkatkan kinerja dan pelayanan untuk masyarakat. Salah satunya, lewat sosialisasi ini,” ucapnya.

Eksistensi batas HL sendiri, dijelaskan Suma bahwa dari data KPH Tarakan sudah ditetapkan dan dipasang tanda batasnya sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejauh itu, pemeliharaan tanda batas tersebut belum dilakukan. “2 minggu lalu, kami telah melakukan inventarisasi dan identifikasi keutuhan dan keberadaan patok batas. Ini untuk melihat seberapa efektifnya keberadaan patok batas hutan itu, dalam artian selain menjadi marka HL juga apakah telah diketahui oleh masyarakat keberadaannya, dan apakah mampu mencegah mereka untuk berkegiatan didalam hutan lindung,” urainya.

Diungkapkannya, secara realistis kondisi HL di Tarakan cukup memprihatinkan. Data terbaru yang dimiliki KPH Tarakan, luasan HL Pulau Tarakan mencapai 7.067 hektare. Dari luasan tersebut, cukup banyak spot kerusakan baik oleh alam maupun ulah manusia. “Dari data kami, mulai 2016 sampai sekarang, terjadi pengurangan fungsi kawasan yang sebagian besar diakibatkan ulah manusia. Baik dalam bentuk pembukaan lahan secara ilegal untuk perkebunan, perumahan, penambangan pasir dan lainnya,” urainya.

Dampak dari degradasi fungsi kawasan itu, disebutkan Suma, cukup nyata dan efeknya besar. Salah satu yang paling terasa secara umum, adalah banjir dan longsor yang kerap terjadi saat musim hujan di Pulau Tarakan. “Bentuk sosialisasi lain yang dilakukan KPH Tarakan untuk mengurangi okupasi lahan HL tersebut, adalah patroli bergerak oleh tim internal maupun kolaborasi dengan instansi terkait lainnya. Jadi, sasaran sosialisasi, dalam hal ini warga yang berada didalam HL akan didatangi door to door, lalu dilakukan pembinaan,” ulasnya.

Pembinaan yang dimaksud, yakni dengan memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat akan keberadaan HL dan peran besarnya dalam menjaga keseimbangan daur kehidupan di Pulau Tarakan. “Kalau penindakan langsung atau penegakan hukum, tidak langsung diterapkan ya. Kami meninjau dulu bagaimana respons masyarakat yang menjadi sasaran itu. Artinya, ketika masyarakat merasa bersalah dan siap dibina, maka dilakukan tindakan atau perlakuan yang sepadan. Bentuknya, salah satunya pemberdayaan mereka dalam menjaga kelestarian alam tanpa mengabaikan kehidupan perekonomiannya,” jelas Suma.

“Lain halnya, jika ada ada masyarakat yang bersikeras mempertahankan sikapnya, maka upaya hukum akan kita lakukan,” tambahnya.

Bentuk pemberdayaan tersebut, salah satunya melalui pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH). Program KLHK ini, tentu saja harus memenuhi sejumlah prosedur yang telah ditetapkan. Pembentukannya tak asal jadi. “Apabila KTH telah ditetapkan, dan mendapat SK penetapan maka kami pun akan melakukan pembinaan. Bentuknya, bisa berupa bantuan peralatan atau pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) KTH. Tapi, jangan lupakan kewajiban KTH untuk membantu KPH Tarakan menjaga kelestarian HL itu sendiri,” paparnya.

Dipertegas Suma, legitimasi KTH adalah masyarakat yang berada didalam atau sekitar HL diberikan kewenangan untuk mengelola lahan secara legal. Namun, lahan tersebut tidak untuk dimiliki. Luasannya pun ditentukan, dan tidak dibenarkan ada penambahan luasan juga penebangan pohon hutan dan lainnya. “Pengelolaan itu ada batasannya. Diantaranya, tidak melakukan penambangan, penebangan pohon. Sementara yang boleh dilakukan adalah budidaya dan kegiatan rehabilitasi yang tidak mengurangi tingkat populasi pohon di kawasan hutan lindung,” ungkapnya.

Untuk diketahui, pada sosialisasi tersebut, KPH Tarakan juga memperkenalkan program SIfoKaL. Program ini, sebut Suma adalah untuk memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk mengetahui batas HL Pulau Tarakan dan keberadaannya. Selain itu, adapula dimuat data aktivitas kejadian didalam HL Pulau Tarakan. “Didalam HL itu kan, ada berbagai aktivitas. Tak hanya yang ilegal, tapi juga yang legal. Jadi, SIfoKaL ini akan memberikan informasi mengenai hal-hal tersebut secara terbuka dan dapat diakses dimana saja melalui telepon seluler (Ponsel),” jelasnya.

Sejurus dengan pengenalan SIfoKaL, KPH Tarakan juga akan menggalakkan program bulan menanam yang melibatkan berbagai stakeholder terkait. Ada juga sosialisasi yang melibatkan dunia pendidikan. “Tahun depan kita akan lakukan kajian Kehati (keanekaragaman hayati) yang ada di kawasan lindung. Ini untuk meng-upgrade data potensi Kehati yang dimiliki KPH Tarakan,” tuturnya.

Sebagai informasi, turut hadir dalam kegiatan tersebut, Camat Tarakan Utara, Lurah Juata Laut, Lurah Kampung 1 Skip, Lurah Juata Kerikil, Ketua RT, Babinsa dan tamu undangan lainnya.(*/tim)

cloud
cloud

KPH Tarakan Sosialisasikan Batas HL dan SIfoKaL


blog

SOSIALISASI : Kepala UPTD KPH Kota Tarakan, Ridwanto Suma saat membuka Sosialisasi Batas HL Pulau Tarakan dan Pengenalan SIfoKal di ruang pertemuan Kecamatan Tarakan Utara, belum lama ini.

 

TARAKAN – Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kota Tarakan menggelar Sosialisasi Batas Kawasan Hutan Lindung (HL) Pulau Tarakan dan Pengenalan Sistem Informasi Kawasan Hutan Lindung (SIfoKaL) di ruang pertemuan Kantor Kecamatan Tarakan Utara, Rabu (15/11).

Acara yang dibuka Kepala UPTD KPH Kota Tarakan, Ridwanto Suma ini, melibatkan Tim Efektif KPH Tarakan. Salah satunya, Arief Rakhman yang menjabat Analis Pemberdayaan Masyarakat pada UPTD KPH Kota Tarakan selaku pemapar yang ditopang beberapa pejabat fungsional Penyuluh dan lainnya.

Suma mengatakan, tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat dan aparat pemerintah baik kecamatan, kelurahan dan RT tentang batas-batas kawasan HL di Tarakan yang secara administasi bersinggungan dengan wilayah kerjanya. “Sosialisasi ini dilaksanakan karena masih banyak masyarakat yang berkegiatan di dalam kawasan lindung, dan tentunya akan berimplikasi ke ranah hukum. Tentu, kita tidak ingin hal ini terus terjadi. Untuk itu, KPH Tarakan terus berupaya meningkatkan kinerja dan pelayanan untuk masyarakat. Salah satunya, lewat sosialisasi ini,” ucapnya.

Eksistensi batas HL sendiri, dijelaskan Suma bahwa dari data KPH Tarakan sudah ditetapkan dan dipasang tanda batasnya sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejauh itu, pemeliharaan tanda batas tersebut belum dilakukan. “2 minggu lalu, kami telah melakukan inventarisasi dan identifikasi keutuhan dan keberadaan patok batas. Ini untuk melihat seberapa efektifnya keberadaan patok batas hutan itu, dalam artian selain menjadi marka HL juga apakah telah diketahui oleh masyarakat keberadaannya, dan apakah mampu mencegah mereka untuk berkegiatan didalam hutan lindung,” urainya.

Diungkapkannya, secara realistis kondisi HL di Tarakan cukup memprihatinkan. Data terbaru yang dimiliki KPH Tarakan, luasan HL Pulau Tarakan mencapai 7.067 hektare. Dari luasan tersebut, cukup banyak spot kerusakan baik oleh alam maupun ulah manusia. “Dari data kami, mulai 2016 sampai sekarang, terjadi pengurangan fungsi kawasan yang sebagian besar diakibatkan ulah manusia. Baik dalam bentuk pembukaan lahan secara ilegal untuk perkebunan, perumahan, penambangan pasir dan lainnya,” urainya.

Dampak dari degradasi fungsi kawasan itu, disebutkan Suma, cukup nyata dan efeknya besar. Salah satu yang paling terasa secara umum, adalah banjir dan longsor yang kerap terjadi saat musim hujan di Pulau Tarakan. “Bentuk sosialisasi lain yang dilakukan KPH Tarakan untuk mengurangi okupasi lahan HL tersebut, adalah patroli bergerak oleh tim internal maupun kolaborasi dengan instansi terkait lainnya. Jadi, sasaran sosialisasi, dalam hal ini warga yang berada didalam HL akan didatangi door to door, lalu dilakukan pembinaan,” ulasnya.

Pembinaan yang dimaksud, yakni dengan memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat akan keberadaan HL dan peran besarnya dalam menjaga keseimbangan daur kehidupan di Pulau Tarakan. “Kalau penindakan langsung atau penegakan hukum, tidak langsung diterapkan ya. Kami meninjau dulu bagaimana respons masyarakat yang menjadi sasaran itu. Artinya, ketika masyarakat merasa bersalah dan siap dibina, maka dilakukan tindakan atau perlakuan yang sepadan. Bentuknya, salah satunya pemberdayaan mereka dalam menjaga kelestarian alam tanpa mengabaikan kehidupan perekonomiannya,” jelas Suma.

“Lain halnya, jika ada ada masyarakat yang bersikeras mempertahankan sikapnya, maka upaya hukum akan kita lakukan,” tambahnya.

Bentuk pemberdayaan tersebut, salah satunya melalui pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH). Program KLHK ini, tentu saja harus memenuhi sejumlah prosedur yang telah ditetapkan. Pembentukannya tak asal jadi. “Apabila KTH telah ditetapkan, dan mendapat SK penetapan maka kami pun akan melakukan pembinaan. Bentuknya, bisa berupa bantuan peralatan atau pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) KTH. Tapi, jangan lupakan kewajiban KTH untuk membantu KPH Tarakan menjaga kelestarian HL itu sendiri,” paparnya.

Dipertegas Suma, legitimasi KTH adalah masyarakat yang berada didalam atau sekitar HL diberikan kewenangan untuk mengelola lahan secara legal. Namun, lahan tersebut tidak untuk dimiliki. Luasannya pun ditentukan, dan tidak dibenarkan ada penambahan luasan juga penebangan pohon hutan dan lainnya. “Pengelolaan itu ada batasannya. Diantaranya, tidak melakukan penambangan, penebangan pohon. Sementara yang boleh dilakukan adalah budidaya dan kegiatan rehabilitasi yang tidak mengurangi tingkat populasi pohon di kawasan hutan lindung,” ungkapnya.

Untuk diketahui, pada sosialisasi tersebut, KPH Tarakan juga memperkenalkan program SIfoKaL. Program ini, sebut Suma adalah untuk memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk mengetahui batas HL Pulau Tarakan dan keberadaannya. Selain itu, adapula dimuat data aktivitas kejadian didalam HL Pulau Tarakan. “Didalam HL itu kan, ada berbagai aktivitas. Tak hanya yang ilegal, tapi juga yang legal. Jadi, SIfoKaL ini akan memberikan informasi mengenai hal-hal tersebut secara terbuka dan dapat diakses dimana saja melalui telepon seluler (Ponsel),” jelasnya.

Sejurus dengan pengenalan SIfoKaL, KPH Tarakan juga akan menggalakkan program bulan menanam yang melibatkan berbagai stakeholder terkait. Ada juga sosialisasi yang melibatkan dunia pendidikan. “Tahun depan kita akan lakukan kajian Kehati (keanekaragaman hayati) yang ada di kawasan lindung. Ini untuk meng-upgrade data potensi Kehati yang dimiliki KPH Tarakan,” tuturnya.

Sebagai informasi, turut hadir dalam kegiatan tersebut, Camat Tarakan Utara, Lurah Juata Laut, Lurah Kampung 1 Skip, Lurah Juata Kerikil, Ketua RT, Babinsa dan tamu undangan lainnya.(*/tim)

132
1   0

Ada pertanyaan mengenai pengalaman ini ? Diskusikan pada kolom komentar ini